Cukup kontradiktif rasanya untuk menyandingkan kata ‘minimalist’ dan ‘fashionista’ di dalam satu kalimat. Gaya hidup minimalis identik dengan kesadaran atas kuantitas dan kualitas barang yang dimiliki. Less is more. Sementara seorang fashionista identik dengan walk-in closet atau lemari pakaian setinggi langit-langit yang memajang berbagai produk fashion terkini layaknya etalase butik. Belum lagi jika bicara perkara warna. Minimalis identik dengan warna-warna netral, seperti hitam, putih, dan abu-abu. Warna yang “tenang” dan melambangkan kesederhanaan. Sedangkan fashion umumnya mendobrak ragam motif dan warna sebagai sebuah statement.
Lantas apakah menerapkan gaya hidup minimalis berarti tidak dapat mengekspresikan kecintaan akan dunia fashion? Demikian pula sebaliknya, apakah dengan menjadi fashionista maka seseorang tidak dapat dikatakan memiliki gaya hidup minimalis?
Menjadi minimalis bukan berarti mengekang ekspresi sehingga membuat diri sendiri merasa tidak nyaman dengan gaya hidup yang dipilih. Bila seorang minimalis menemukan kenyamanan dan kesenangan dalam berekspresi di bidang fashion, maka silahkan dilakukan secara bijak. Tidak ada standar mutlak dalam hal gaya hidup minimalis. Semua dilakukan dengan kesadaran penuh atas kebutuhan dan kenyamanan diri.
Minimalisme bukan pula kompetisi siapa yang memiliki paling sedikit barang. Jadi tidak perlu membandingkan barang yang dimiliki dengan orang lain. Mungkin akan terbesit pikiran seperti, “Influencer gaya hidup minimalis tidak pernah pakai motif ini, warna ini, atau produk fashion ini.. Berarti saya gagal dong menjadi minimalis?,”
Jika terus membandingkan kebutuhan diri sendiri dengan orang lain, pada akhirnya malah membuat kita harus membayar kenyamanan dan kesenangan kita dengan standar hidup orang lain.
Sama seperti selera musik, preferensi berpakaian setiap orang pun berbeda. Bila warna-warna netral atau monokrom bukanlah sesuatu yang bisa mengekspresikan kecintaan diri atas dunia fashion, kamu boleh berkreasi dengan warna-warna lainnya. Padu-padan motif? Silakan! Pakaian bermotif floral, garis, polkadot, animal print, atau colour block sekalipun. Tidak ada pakem yang menyatakan bahwa menjadi minimalis berarti harus menggunakan pakaian polos atau motif sederhana. After all, a splash of colour is always needed in this busy world.
Namun bukan berarti kita dapat menggunakan tameng kebebasan berekspresi sebagai alasan untuk terus menambah jumlah produk fashion yang kita miliki. Saat proses decluttering, jujurlah ke diri sendiri: apakah produk fashion yang dimiliki saat ini masih dalam kondisi baik, dapat berfungsi sebagaimana mestinya, dan masih menimbulkan kesenangan hati (sparks joy) saat kita mengenakannya?Jika iya, maka masih dapat kita #PakaiSampaiRusak. Mengeliminasi atau mendonasikan ragam pakaian berwarna-warni hanya demi membeli produk fashion yang sedang tren, yang bahkan tidak sparks our joy, malah menggambarkan gaya hidup konsumerisme.
Kembali ingat lagi prinsip awal minimalisme: declutter the space to make ourselves happier and free of consumerism. Belilah jika memang butuh, lalu manfaatkan semaksimal mungkin.
Your own style, your own guidelines
Setelah decluttering, take a step back from your closet and see the bigger picture. Temukan kesamaan dari produk fashion yang tetap kamu simpan dan gunakan. Kesamaan-kesamaan tersebut dapat berupa pilihan warna. Mulai dari warna-warna yang bersifat cerah, warm, cold, atau monokrom. Selain warna, kamu juga bisa menemukan kesamaan dari sisi bahan dan tekstur. Apakah kamu menyukai pakaian dengan bahan yang lembut dan nyaman seperti katun, ringan dan flowy seperti sifon dan rayon, atau bahan awet dan kokoh seperti linen. Setelah itu temukan gaya berpakaian yang tercermin dan sesuai dengan ekspresi fashion kamu, seperti gaya preppy, kasual, klasik, atau gaya lainnya.
Find the style you’re leaning to and build your wardrobe slowly.
Jadikan berbagai kesamaan yang telah ditemukan tadi sebagai guidelines sebelum menambah koleksi produk fashion lainnya. Untuk apa membeli pakaian berwarna kuning jika kamu tidak pernah merasa nyaman saat memakai warna tersebut? Lakukan proses pembelian dengan kesadaran atas barang yang sudah dimiliki dan yang memang diperlukan. Bila perlu buatlah capsule wardrobe.
Memiliki capsule wardrobe dapat meminimalisir stress dalam menentukan pakaian yang akan dikenakan akibat terlalu banyak pilihan, sehingga tidak ada lagi kalimat: “I don’t have any clothes!”
Dengan membuat capsule wardrobe, kita dituntut untuk cerdik memadupadankan produk fashion yang kita miliki sehingga seluruhnya dapat digunakan semaksimal mungkin. Memang produk berwarna netral lebih mudah untuk dikombinasikan, namun bukan berarti warna-warni dan motif tidak dapat dipadu-padankan. Justru petualangan dalam mix and match ini akan menjadi wadah untuk berekspresi dan menemukan gaya berpakaian yang menggambarkan diri kita seutuhnya.
All in all,
Semakin kita dapat mengenali dan memahami gaya atau sentuhan yang khas diri kita, we’ll get happier. Kita mulai memiliki guidelines dalam mengekspresikan gaya berpakaian. Sehingga saat kita tergoda untuk membeli suatu barang yang nampak bagus namun tidak sesuai dengan gaya berpakaian kita, kita sudah bisa menyadari bahwa barang tersebut hanya akan menjadi clutter.
Imagine the feeling of knowing that we already owned things that we truly love, oh the joy.
Tulisan ini hasil karya kontributor kami, Yoanda Pragita Sihombing.
Editor: Sarah Safira Sofiani & Cynthia S Lestari.
Tertarik menjadi kontributor kami? Kunjungi link berikut untuk menulis atau email draftmu ke hi.lyfewithless@gmail.com dengan subject: CONTRIBUTOR – NAMA.
2 comments