Mengenal Sindrom FOMO dan Cara Menghindarinya

0 Shares
0
0
0
Sumber:woman holding her face in dark room photo – Free Depression Image on Unsplash

Era teknologi yang maju saat ini sangat memudahkan untuk mendapat akses informasi dari mana saja. Kita bisa tahu kabar teman yang sedang kuliah di luar kota sampai di luar negeri hanya dengan melihat unggahan media sosial. Tapi, pernahkah kamu justru merasa minder dan insecure setelah melihat unggahan pencapaian teman yang baru saja wisuda, naik jabatan, atau lagi liburan di luar negeri? Atau pernahkah kamu merasa takut tertinggal dengan trend yang diikuti oleh teman-temanmu di sosial media? Atau takut kehabisan produk yang dibeli oleh banyak orang di Instagram?

Perasaan seperti ini merupakan salah satu pemicu dari sindrom Fear of Missing Out (FOMO).

Secara umum FOMO merupakan suatu gangguan kecemasan sosial yang muncul ketika seseorang merasa tertinggal karena tidak mengikuti aktivitas atau momen tertentu. Rasa takut ketinggalan ini mengacu pada persepsi bahwa orang lain bersenang-senang, menjalani kehidupan yang lebih baik, atau mengalami hal-hal yang lebih baik.

Fear Of Missing Out (FOMO), Ketakutan Kehilangan Momen (kemenkeu.go.id

Istilah FOMO sendiri pertama kali ditemukan pada tahun 2013 oleh seorang ilmuwan asal Britania Raya yaitu Dr. Andrew K. Przybylski. 

Sindrom FOMO berisiko meningkatkan gangguan psikologis dan perasaan negatif dalam diri seseorang. Gangguan psikologis seperti cemas dan depresi akan muncul akibat perasaan negatif yang berawal dari perasaan takut tertinggal karena tidak bisa melakukan hal seperti yang dilakukan teman-teman lain sehingga menurunya rasa percaya diri. Selain mengganggu mental, FOMO juga bisa menyebabkan gangguan finansial. Perilaku konsumtif dengan membeli barang berdasarkan keinginan bukan kebutuhan seringkali dilakukan hanya demi mendapat pengakuan publik. FOMO itu menyiksa karena menyebabkan diri larut dalam pikiran dan asumsi pribadi yang membuat kita menghakimi diri sendiri. Jika teman-teman mulai merasakan tanda-tanda terkena sindrom FOMO, berikut adalah beberapa tips yang dapat kalian lakukan:

Membatasi Penggunaan Media Sosial

Paparan media sosial yang berlebihan merupakan salah satu penyebab utama FOMO. Trust Pulse mengatakan, 69% generasi milenial mengaku takut ketinggalan sebuah acara jika mereka tidak membuka media sosial (Sumber: https://glints.com/id/lowongan/cara-mengatasi-fomo/#.YNhfnLvivIU). Oleh karena itu, untuk menghindari FOMO kamu juga harus memilah atau bahkan mengurangi penggunaan media sosial. Kamu bisa lakukan dengan memberikan batasan waktu penggunaan aplikasi atau melakukan digital detox.

Fokus Pada Diri Sendiri

Fokus pada diri sendiri dengan mengenali apa yang menjadi kelebihan dirimu. Kamu bisa lebih mengenali dan menggali potensi diri kamu dengan menulis jurnal. Dengan menulis jurnal kamu dapat mengobservasi “keributan” apa saja sedang ada di kepalamu dan membuat pikiran-mu jauh lebih tenang. Breakdown apa saja masalah yang mengganggu pikiranmu, sadari dan syukuri bahwa masalah yang pernah kamu hadapi dulu hadir dan membentuk dirimu jadi lebih baik dan lebih kuat seperti sekarang. Dengan menerima masa lalu dengan pikiran yang tenang kamu bisa enjoying your own life within your flaws. 

Joy of Missing Out (JOMO)

JOMO adalah kebalikan dari FOMO, yaitu suatu tindakan untuk tidak terlibat dalam kegiatan tertentu, terutama kegiatan online di media sosial. JOMO mengedepankan perasaan puas diri dan merasa cukup dengan hidup saat ini sehingga merasa bebas dan fokus pada hal-hal yang disenangi saja, tanpa merasa takut melewatkan tren yang sedang trending di sekitarnya. Salah satu hal yang ditekankan dalam praktik JOMO adalah meluangkan lebih banyak waktu, tenaga, dan emosi untuk sepenuhnya hadir pada prioritas utama (Sumber: https://hellosehat.com/sehat/informasi-kesehatan/apa-itu-jomo/).

Postingan orang lain di media sosial seakan-akan membuat hidupnya terlihat lebih sempurna dibanding diri kita sendiri. Padahal, postingan media sosial tidak merefleksikan kehidupan seseorang secara keseluruhan.

Jika diibaratkan sebuah buku, momen yang diposting di media sosial hanyalah satu dari sekian banyak halaman. Kita tidak tahu isi halaman lainnya yang tidak diunggah atau ditutupi dari media sosial.

Maka dari itu, fokuslah pada buku kehidupan milikmu karena setiap orang punya alur ceritanya masing-masing. Sekarang kamu sudah tau kan apa itu FOMO? Apakah kamu mengalami tanda-tanda terjangkit sindrom FOMO? Nah, daripada menyiksa diri dan larut dalam jeratan FOMO, kamu bisa #BelajarJadiMinimalis dengan memilih joy, instead of fear from missing out, karena ternyata ada banyak hal bermanfaat yang bisa kamu lakukan di kehidupan nyata. Jadi, kenapa harus takut?


Tulisan ini hasil karya kontributor kami, Rizky Rachmadiani.

Editor: Sarah Safira Sofiani & Cynthia S Lestari.

Tertarik menjadi kontributor kami? Kunjungi link berikut untuk menulis atau email draftmu ke hi.lyfewithless@gmail.com dengan subject: CONTRIBUTOR – NAMA.

0 Shares
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like

Health & WellbeingPentingnya Belajar Move On Lewat Self-Forgiveness

Kita semua pasti pernah berbuat salah, entah kepada orang lain maupun diri sendiri. Seringkali, setelah melakukan kesalahan, kita mencoba untuk menyelesaikannya dengan berfokus pada faktor eksternal saja (minta maaf dengan orang yang bersangkutan). Padahal, melepaskan rasa bersalah dan malu merupakan bagian yang penting dalam perjalanan untuk move on dari kesalahan masa lalu.

Health & WellbeingFilosofi Stoik: Hidup Anti Stres dan Lebih Santai

Meski sudah ada sejak jaman dahulu, ajaran stoik kian berkembang dan beragam karena masih banyak diminati oleh banyak orang. Wajar saja jika banyak yang tertarik mempelajari stoicism, apalagi bagi para penganut minimalisme, karena ada beberapa nilai stoicism yang cukup berkaitan dengan nilai minimalis. Mari coba kenali lebih jauh mengenai stoicism!

Health & WellbeingAntara Minimalis, Hobi, dan Koleksi

Memiliki hobi atau sebuah kecintaan terhadap koleksi barang tertentu seringkali menimbulkan dilema bagi para penganut gaya hidup minimalis. Padahal sebenarnya kita bisa menjalani sebuah hobi atau kecintaan dengan tetap memperhatikan nilai esensi maupun fungsionalitas.