Filosofi Stoik: Hidup Anti Stres dan Lebih Santai

0 Shares
0
0
0

Filosofi Stoik atau yang juga sering disebut Stoicism diambil dari bahasa Yunani ‘Stoikos’ yang berarti beranda atau serambi. Stoik diperkenalkan oleh seorang pedagang asal Yunani bernama Zeno di awal abad ke 3 Sebelum Masehi. Pada sebuah perjalanan dagang, kapal miliknya karam dan dia kehilangan semua harta bendanya. Kemudian, saat akan pergi ke kota Athena, Zeno bertemu dengan dua orang ahli filsafat yang mengubah hidupnya. Setelah perjalanan tersebut, dia pindah ke tempat yang dikenal sebagai Stoa Poikile, artinya ‘serambi yang dicat’ yang dijadikan sebagai tempat bagi Zeno dan murid-muridnya berdiskusi dan belajar.

Photo by Mikhail Nilov

Lalu apa sebenarnya yang dimaksud Stoicism?

Stoicism merupakan filosofi yang mengajarkan untuk menjalani hidup tanpa beban atas emosi dan pikiran-pikiran negatif. Poin utama dalam Stoicism adalah berfokus kepada diri sendiri tanpa memikirkan segala sesuatu yang berada di luar kendali kita. 

Meski sudah ada sejak jaman dahulu, ajaran stoik kian berkembang dan beragam karena masih banyak diminati oleh banyak orang. Wajar saja jika banyak yang tertarik mempelajari stoicism, apalagi bagi para penganut minimalisme, karena ada beberapa nilai stoicism yang cukup berkaitan dengan nilai minimalis. Seperti misalnya filosofi ini mengajarkan bahwa seseorang tidak secara otomatis akan mencapai kebahagiaan dengan memiliki uang, prestise, atau hal materialistis lainnya. Kebahagiaan dapat diraih dengan memiliki kondisi mental yang baik, yang diidentifikasikan dengan adanya moralitas dan akal.

Selain itu, para penganut stoicism percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini bersifat netral, tidak ada ada hal yang benar-benar bersifat negatif maupun positif. Bagaimana sesuatu menjadi buruk atau baik ditentukan oleh diri kita sendiri. Oleh karenanya, mengendalikan pemikiran dan persepsi adalah cara terbaik untuk menjadi lebih tenang.

Lantas bagaimana cara untuk membentuk pola pikir stoicism? 

Apakah kita bisa mengadopsi ajaran stoik dalam kegiatan sehari-hari? Jawabannya tentu saja bisa. Ada beberapa hal yang dapat kita coba.

Sebagai Manusia Kita Memiliki Batasan

Photo by Anete Lusina

Kita harus bisa menerima bahwa ada hal-hal yang bisa kita kendalikan serta ada pula hal-hal yang tidak bisa kita atur. Seringkali kita merasa stres karena memikirkan atau mencoba mengendalikan atas sesuatu yang pada kenyataannya tidak bisa kita kendalikan. Semisal, tidak peduli seberapa keras kita berusaha untuk menjadi orang yang lebih baik, maka tetap saja akan ada orang yang tidak menyukai kita. Tidak mungkin kita bisa mengendalikan lingkungan ataupun orang-orang di sekitar, tetapi kita dapat menentukan untuk merasa bahagia atau tidak.

Jangan Membelenggu Pikiran dengan Harta Benda

“Receive without pride, let go without attachment.”

-Marcus Aurelius

Begitu kita terikat pada segala sesuatu yang bersifat material maka kita cenderung mengalami kesulitan untuk menerima perubahan karena merasa takut akan kehilangan. Kita merasa bahwa jika kehilangan hal-hal itu maka akan menjadi kurang bahagia, bebas, atau berharga. Padahal banyak dari kita, yang jika melihat kebelakang, sebenarnya baik-baik saja dengan apa yang sudah dimiliki. Tempat tinggal yang lebih murah, mobil yang lebih sederhana, dan bahkan gaji yang lebih kecil. Tetapi saat kita lebih sukses, kondisi ini tidak akan memuaskan diri lagi, kita menuntut lebih. Ingatlah bahwa kebutuhan kita yang sesungguhnya lebih kecil dan murah dari apa yang kita pikirkan atau apa yang kita kira #BijakBerkonsumsi.

Jadikan Masa Lalu Sebagai Pelajaran

Dalam stoicism, penting untuk memiliki penilaian terhadap diri sendiri. Cara yang bisa dilakukan adalah dengan bercermin pada kejadian di masa lalu. Ketimbang menyesali dan meratapi yang sudah terjadi, merefleksikan apa yang telah dilalui lebih baik untuk dilakukan. Hal tersebut akan membuat pengalaman masa lalu menjadi lebih produktif. Saat kita merenungkan apa yang sudah terjadi maka kita dapat mengambil pelajaran dari apa yang telah kita lewati.


Writer: Lyfe With Less

0 Shares
1 comment
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like

Health & WellbeingPentingnya Belajar Move On Lewat Self-Forgiveness

Kita semua pasti pernah berbuat salah, entah kepada orang lain maupun diri sendiri. Seringkali, setelah melakukan kesalahan, kita mencoba untuk menyelesaikannya dengan berfokus pada faktor eksternal saja (minta maaf dengan orang yang bersangkutan). Padahal, melepaskan rasa bersalah dan malu merupakan bagian yang penting dalam perjalanan untuk move on dari kesalahan masa lalu.

Health & WellbeingAntara Minimalis, Hobi, dan Koleksi

Memiliki hobi atau sebuah kecintaan terhadap koleksi barang tertentu seringkali menimbulkan dilema bagi para penganut gaya hidup minimalis. Padahal sebenarnya kita bisa menjalani sebuah hobi atau kecintaan dengan tetap memperhatikan nilai esensi maupun fungsionalitas.