“Don’t medicate stress and fatigue with impulse buying. A shopping spree will set you back even more” -Rochelle Greene
Berbicara soal impulsive buying (membeli sesuatu secara spontan dan tanpa rencana) memang tidak ada habisnya. Memang sulit untuk menahan diri membeli suatu barang secara terburu-buru, karena hal tersebut dapat meningkatkan hormon dopamine yang sangat tinggi, sehingga, kebiasaan impulsive buying menjadi candu. Berujung semakin ingin dan semakin tidak terkendali.
Semua cara dilakukan agar kebiasaan ini setidaknya berkurang pelan-pelan. Keuangan bisa menjadi tidak stabil karena kebiasaan ini. Hingga pada suatu ketika, pemasukan sering habis sebelum akhir bulan, karena melihat barang-barang yang lucu dan menggemaskan, trend yang bikin fomo (fear of missing out), dan lain sebagainya.
Berkaca pada masalah ini, ada sebuah solusi yang dapat dicoba untuk berhenti menjadi seseorang yang impulsif, yaitu dengan menerapkan aturan 300/30.
Apa sih metode 300/30?
Metode ini pertama kali dikenalkan oleh The Minimalists melalui artikelnya yang berjudul “The 30/30 rule” dan kemudian diperkenalkan oleh beberapa YouTuber minimalis seperti CKSpace dengan judul “Wait for it! 30/30 Rule: How to STOP Impulsive Purchase”
Pada dasarnya, jika kamu membeli sesuatu dengan harga 300 ribu, kamu perlu tanyakan dirimu sendiri apakah kamu memang membutuhkannya selama 30 jam ke depan atau tidak. Atau kamu bisa menunggu hingga 30 hari atau lebih sebelum melakukan keputusan pembelian.
Aturan ini juga bisa disesuaikan dengan kondisi masing-masing individu. Contoh, jika kamu ingin membeli sebuah barang dengan harga Rp500.000, kamu harus tanyakan dirimu apakah barang tersebut memang akan dipakai dalam waktu 2-3 hari kedepan? Jika tidak, sebaiknya kamu tidak membelinya terlebih dahulu. Karena bisa jadi, kamu hanya terpengaruh keinginan semata, bukan karena kamu membutuhkannya.
Selagi aku #BelajarJadiMinimalis, aku mulai merasakan metode ini cocok untuk keuanganku yang telah aku jalani secara bertahap.
Aku merasa 300/30 dapat “menyumbat” keinginanku untuk membeli sesuatu dengan terburu-buru, entah karena dorongan dari teman atau kolega kerja, ataupun dari social media.
Karena itu, aku menyadari bahwa peran sosial media juga dapat membuatku semakin impulsive untuk melakukan segala sesuatu, dan karenanya, aku mulai menjalani digital detox sebagai salah satu cara untuk menghentikan kebiasaan impulsive buying.
Questioning everything itu sangat menyenangkan bagiku. Karena 300/30 ini, Aku sering menimbang apakah barang yang aku beli ini memang dibutuhkan atau hanya sekedar pemuas nafsu belaka?
Terlebih, aku sudah melakukan budgeting untuk membeli kebutuhan dan barang-barang yang sekiranya aku perlukan dalam beberapa waktu kedepan, seperti kamera baru untuk menunjang pekerjaan sebagai digital content, laptop baru dengan tools canggih untuk membantu pekerjaanku menjadi lebih mudah dan cepat, dan lain sebagainya.
300/30 memang berfokus pada pencegahan impulsive buying untuk barang. Tapi, jika kamu merasa 300/30 ini bisa diterapkan untuk makanan dan minuman, tidak ada salahnya untuk mencoba!
Ketika ingin membeli makanan dan minuman, tanyakan dirimu apakah memang kamu membutuhkannya atas dasar rasa lapar dan haus? Atau kamu baru saja melihat promo spesial yang akan habis sebentar lagi? Hmm, coba pikir kembali dan cek rekening untuk kebutuhan tersier kamu ya.
Pada dasarnya, metode 300/30 ini bersifat subyektif dan tidak ada tolak ukur tertentu yang harus kamu capai, pun sebenarnya nama “300/30” berdasarkan pencetusnya yaitu The Minimalists yang berasal dari Amerika Serikat, jadi mereka menggunakan US Dollar sebagai patokannya (30/30).
300/30 ini sangat cocok bagi kamu yang ingin berhenti menjadi impulsive buyer dan memulai perjalanan kamu untuk lebih #BijakBerkonsumsi. Let’s try, shall we?
Tulisan ini hasil karya kontributor kami, Gilang Rizky Pradana
Editor: Cynthia S Lestari.
Tertarik menjadi kontributor kami? Kunjungi link berikut untuk menulis atau email draftmu ke hi.lyfewithless@gmail.com dengan subject: CONTRIBUTOR – NAMA.