Inspirasi #BelajarJadiMinimalis kali ini datang dari seorang praktisi gaya hidup minimalis dan minim sampah, Astri Puji Lestari atau kita sering mengenalnya di Instagram dengan username @Atiit. Atit, biasa disapa sudah mulai menjalani gaya hidup minimalis sejak tahun 2014 hingga saat ini. Menurut Atit, gaya hidup minimalis sangat membantunya dalam membentuk pola pikir yang lebih berkesadaran dalam berkonsumsi.
Untuk lebih jelas dan lengkap yuk kita simak sama-sama cerita dan perspektif Atit dalam menjalani gaya hidup minimalis lewat perbincangan kami yang bisa kamu dengarkan di Podcast Lyfe With Less atau bisa kamu baca ringkasannya di bawah ini.
Boleh cerita bagaimana sih awal mula Mbak Atit kenal gaya hidup minimalis?
Aku dulu kuliah jurusan arsitektur, saat itu aku lagi tugas akhir di tahun 2009. Kebetulan gaya arsitektur minimalis itu lagi trend banget, jadi waktu itu aku cari-cari informasi soal arsitektur minimalis. Nah pada saat sedang cari informasi untuk tugas akhir, nyasar ke banyak situs tentang minimalist as a lifestyle, bukan ke arah arsitektur. Jadi sebenarnya perkenalan pertamaku dengan gaya hidup minimalis dimulai dari tugas akhir ini.
Setelah itu gue jadi melihat korelasi antara visual, design dan gaya hidupnya. Lalu mulai tertarik, meskipun pemainnya tidak sebanyak sekarang. Kalau ngomongin soal minimalis sebenarnya udah dari entah berapa masehi sudah ada, cuma kalau ngomongin soal modern minimalism kayaknya dari 2006-2007 baru mulai dipopulerin lagi oleh Leo Babauta. Saat gue cari tahun 2008 cuma nemu Leo Babauta, tahun 2009-2010 baru kenal The Minimalist. Dari situ cari tahu lagi, tapi belum diterapkan ke diri sendiri. Baru benar-benar diterapkan waktu menikah dan tinggal di Jakarta.
Cerita sedikit, rumah aku di Bandung itu besar sekali seperti rumah Belanda hampir 2000m, kos-kosan aja bisa sampai 20. Bukan rumah tingkat tapi luas. Waktu di Bandung aku tinggal rame-rame sama orang tua, saudara dan lainnya. Aku baru sadar juga, ternyata rumah aku di Jakarta sekarang ini hanya sebesar kamar aku di Bandung. Pertama kali aku pindah ke Jakarta saat menikah aku ngekost sama suamiku, dan kost kita di Jakarta tidak lebih besar dari kamar mandiku di Bandung. Jadi kebayang ya kenapa akhirnya aku mulai mengingat lagi apa yang aku pelajari tentang minimalism. Karena tahun 2014 saat aku menikah, aku butuh ternyata untuk diimplementasikan. Karena secara engga sadar aku dulu hidupnya extra dan nggak sadar akan hal itu.
Jadi kenapa akhirnya gue menerapkan karena memang ada ketertarikan dan tuntutan space. Gue juga sadar kalau engga mengubah dan memperkaya sudut pandang pasti akan stress, karena dari tempat yang besar banget ke tempat yang kecil banget kan kaget, stressful. Jadi mempelajari minimalist sebagai bentuk memperkaya sudut pandang gue.
Hal pertama yang diterapkan mbak Atit dari minimalism apa?
Membuka diri, berusaha tidak judgemental, tidak skeptis. Gue lebih suka ngomongin soal Strong Why dibandingkan dengan How. Makanya kalau suka ada yang nanya caranya, gue bukan orang yang langsung menjelaskan bagaimana caranya tapi ke bagaimana perspektifnya, bagaimana bisa masuk ke pemikiran dulu. Masuknya bukan ke pola tindak dulu tapi ke pola pikir. Berusaha tidak skeptis, tidak apatis, berusaha mempelajari ini dengan tingkat emosional yang sebalance-balancenya.
Kalau ada yang tanya, bahkan gue sering tanya balik “Lho kenapa mau jadi minimalis? gue aja engga mau. Gue mau tetep jadi diri sendiri yang punya daya pikir yang kaya, punya preferensi yang jelas dan ini (gaya hidup minimalis) adalah salah satu aja dari nilai gaya hidup gue. Karena gue juga tidak berpikir gaya hidup minimalis ini lebih baik dari orang lain, kecuali jika dilihat dari sisi environment. Karena being a minimalist, orang yang punya preferensi yang jelas umumnya secara kebendaan lebih sedikit. Ketika kebendaannya lebih sedikit, artinya limbah yang dihasilkan juga sedikit. Sisanya, jika lo mau jadi minimalis, maximalist, somewhere in between ya itu valid dan selama dijalani dengan tanggung jawab.
Siapa yang paling menginspirasi mbak Atit dalam menjalani gaya hidup ini?
Pada dasarnya gue melihat diri gue sendiri sebagai seorang observer, learner dan idealis yang realistis. Jadi karena gue observer, dari kecil gue punya kecenderungan mengobservasi. Misalkan “Ob iya ya kalau udah gede gue gamau kayak gini supaya engga gini..” something like that. Jadi ada satu momen di rumah Bandung, nenek gue punya barang banyak banget. Punya piring bisa buat sekampung. Lemari piring bisa ada 4 sampai 5 kali, gede dan banyak. Blender, oven, kompor bisa ada banyak. Itu kalau dilihat dari sisi kuantitas. Efeknya ada perasaan insecure dari nenek gue mikirin barang-barangnya di rumah gimana kondisinya kalau ditinggal pergi. “Aduh nanti barang ini diurus sama siapa ya, gimana ya?”. Sampai ketika meninggal, ibuku lumayan stress urus barang-barang nenek karena ada yang tidak boleh dikasih orang , harus diapain dan lainnya yang ujungnya numpuk di rumah. Nah karena keterikatan gue terhadap benda tidak besar, jadi gue melihat hal itu sebagai sesuatu yang enggak mau gue lalui. Gue enggak mau berurusan terlalu dalam dengan suatu benda yang membuat hidup gue jadi susah. Jadi itulah yang membuat gue mengenal apa sih yang jadi prioritas gue dan mana yang bukan.
Ada satu quote dari The Minimalist yang gue suka, “Use Things and Love People”, jangan sampai dibalik. Kesimpulannya, inspirasinya dari mana ya dari cerita-cerita dan pengalaman yang enggak ingin gue ulang. Selebihnya dari The Minimalist, Leo Babauta, ibu, sisanya mix.
Saat mengadaptasi gaya hidup minimalis, aspek apa yang paling berubah dari hidup seorang Atit?
Karena gue masuknya dari pemahaman, jelas pola pikir dan pemahaman dulu yang berubah. Cara pikir gue, cara gue memahami benda, cara berkenalan dengan rasa cukup, cara gue akhirnya melihat kebahagiaan jelas banyak berubah. Diluar dari aspek kuantiti ya.
Apa saja aksi-aksi minimalis simpel yang Mbak Atit lakukan di rumah yang sekarang bersama suami?
Hal yang gue terapkan di rumah pertama, gue enggak stock barang. Ya rumahnya besar, uang ada, jadi mau stock juga yaudah deh. Kalau gue di rumah engga ada spacenya. Cuma kalau gue pelajari, kenapa nenek gue dan orang jaman dulu itu suka stock barang, karena mereka punya insecurity. Barang belum banyak, misalnya lotion belum sebanyak itu. Artinya kalau lotion ini habis, dia akan sulit untuk repurchase lagi. Tapi hal itu enggak terjadi di dunia gue sekarang ini. Kapanpun barang gue habis, kita bisa dengan mudah beli dimanapun bahkan via online. Itu memperkecil perasaan insecure gue. Do i need it? Apakah gue harus stock barang? Beberapa hal yang harus gue stock, akan gue stock. Misalkan castile soap gue harus stock karena bisa dipakai untuk semua. Odol habis, sabun habis, cuci piring habis bisa pakai castile soap. Satu lagi essential oil, karena sering buat DIY dan sensitif banget sama aroma. Itupun bukan karena stock sih, kebetulan temen-temen juga banyak yang jadi artisan essential oil, jadi sering dapat sisa-sisa EO yang sudah hampir rusak di rumah. Bukan karena beli ya, karena ada kondisi tertentu seperti tadi.
Lalu buah-buahan beku juga stock, kenapa? karena gue PCOS, gue punya kecenderungan untuk craving sweet. Kalau lagi pingin makan manis gue bisa tinggal makan buah beku yang manis, itu akan menurunkan keinginan gue untuk jajan manis. Gue kan butuh dingin dan manis, kalau engga gue siapin gue akan langsung mikir beli boba, beli es krim dan lainnya. Nah kalau ada pilihan buah beku kan enak, craving manis pun hilang.
Gue stock untuk hal-hal yang bisa menyeimbangkan keseharian gue.
Kalau lagi traveling Mbak Atit beli oleh-oleh enggak sih?
Tergantung ada yang menarik atau enggak. Setiap orang kan beda pendekatannya dalam membeli barang. Ada orang yang tendency membelinya tinggi banget, tiap liat hal lucu langsung beli, bikin dia happy dan dia butuh itu (entah untuk emosional atau butuh barangnya). Buat gue, sekalipun gue mengadopsi beberapa nilai-nilai minimalism, sustainability segala macem,
Buat gue landasan membeli barang itu ada 2 yang utama; lo butuh dan lo suka.
Honestly gue bukan orang local sentris, jadi sekalipun itu produk lokal tapi sebenarnya gue engga butuh banget, nggak bikin happy, enggak akan dibeli juga. Nah mungkin karena gue berkenalan dengan si minimalis ini gue merasa diri gue dan suami sangat spesifik tentang preferensi membeli barang. Jadi memang tanpa harus dilarang, gue enggak mudah beli barang. Gue merasa sangat tahu dan preferensi gue banyak banget. Mau itu secakep apapun, selucu apapun, mungkin gue suka liatnya as visual, tapi untuk langsung beli barangnya either itu sebagai bentuk self-care, self-love, and so on itu panjang prosesnya. Jadi kalau ditanya kalau ke traveling beli oleh-oleh atau engga itu tergantung barangnya.
Contoh ya, pada tahun 2012-2013 gue pasti beli castile soap waktu jalan-jalan ke luar negeri karena dulu di Indonesia masih jarang. Biasanya gue sama suami juga tipikal yang selalu punya list kebutuhan dan tidak gue beli secara buru-buru. Jadi kalau lagi traveling, mungkin itu barang yang gue butuhkan ada di list kebutuhan gue.
Nah kita kan sama-sama lagi hamil saat ini, bagaimana sih Mbak Atit menerapkan minimalism saat hamil?
Honestly engga ada bedanya sih sama waktu sebelum hamil. Kalau konteksnya tentang membeli barang, mempersiapkan kelahiran dan lainnya, hem gue enggak beli barang-barang khusus hamil. Baju-baju pakai yang ada di rumah dan gue juga kebetulan bukan manusia yang mudah di drive pasar. Misalkan ada susu khusus ibu hamil, lalu langsung pingin beli karena gue lagi hamil. Apa yang gue konsumsi selama hamil sama sebelum hamil itu mirip banget, kecuali kata dokter kan nggak boleh yang mentah atau gosong, gue cari tahu kenapa. Setelah nalar gue udah sampe dengan alasannya, yaudah gue terapkan.
Soal skincare juga, kebetulan dari dulu skincare gue dari dulu natural dan sering DIY, pas gue cek juga bisa dipakai saat hamil ya gue tetep pakai skincare lama. Jadi enggak banyak berubah. Kecuali buat cuci gue agak berubah, dulu biasa pakai lerak sekarang mesti cari alternatifnya karena baunya agak sensitif.
Kalau craving makanan, kayanya seumur gue hidup juga gue sering sih. Enggak hamil juga maunya suka banyak ke makanan ya hahaha tapi kan kadang mau aja, dibeli belum tentu harus. Ada kalanya cuma ngomong aja “Mau duren deh…” tapi ya enggak harus dibeli juga. Paling pernah pingin banget es krim, udah coba pakai buah-buahan di rumah tapi enggak bisa menghilangkan cravingnya ya yaudah gue pergi ke brand es krim itu.
#BelajarJadiMinimalis diinisiasi oleh Lyfe With Less, merupakan ajakan kepada teman-teman yang tertarik mengenal dan mempelajari gaya hidup minimalis di Indonesia.
Lebih banyak informasi dan sharing mengenai gaya hidup minimalis di Indonesia bisa kamu ikuti di Instagram @lyfewithless. Dengarkan juga podcast Lyfe With Less di Spotify, Anchor, Google Podcast, Radio Public dan Breaker.