Mengenal Slow Living di Prawirotaman Lewat Bukhi Putri

0 Shares
0
0
0

Hidup di Ibukota identik dengan kehidupan serba auto di mana kita terbiasa untuk hidup dengan fase mode cepat, otomatis dan multitasking. Berpacu oleh waktu yang setiap detiknya kian tak terhentikan, berlomba dengan deru kendaraan di sana sini dan bisingnya hiruk pikuk netizen, baik di kehidupan nyata maupun di media sosial.

Pernahkah kalian mendengar istilah slow living? Mengutip dari Charles Eisenstein pengarang The More Beautiful World Our Hearts Know Is Possible (2013), slow life bukan berarti melakukan aktivitas dengan lambat, melainkan menjalani sesuatu dengan perhitungan. Artinya, ketika waktunya untuk melambat tiba, melambatlah. Tapi, jika saatnya untuk bergerak cepat datang, maka tanggapilah dengan cepat pula.

Slow living merupakan sebuah pendekatan atau cara hidup di mana kita bisa mengatur ritme hidup kita secara bebas tanpa tekanan. Bukan berarti menjalani segala sesuatunya dengan lambat, namun memastikan bahwa saat menjalani segalanya penuh dengan kesadaran tanpa harus diburu oleh batasan waktu, jabatan atau lainnya.

Di kesempatan kali ini, Lyfe With Less berkesempatan untuk berbincang dengan Bukhi Putri, seorang praktisi hidup minim sampah yang saat ini juga menjalani slow living di Prawirotaman, Yogyakarta. Ia juga mendirikan sebuah toko kelontong berkelanjutan bersama teman-temannya di Yogya yang dinamakan Ranah Bhumi. Mendengar kata Yogyakarta nampaknya begitu teduh dan begitu bersahabat dengan slow living ya? Yuk mari simak hasil perbincangan kami berdua.

Bukhi Putri

Apa esensi Slow Living bagi Bukhi?

Slow living buatku adalah proses melambat dalam rangka mengenali diri/kebutuhan paling esensial hidup supaya bisa berkarya bersama-Nya sambil bisa sepuas-puasnya bersyukur.

https://www.instagram.com/kingfourindonesia

Bagaimana cerita awal Bukhi memulai Slow Living?

Kelihatannya kebiasaan orangtua yang selalu berpindah-pindah kota sejak aku kecil jadi salah satu faktor ya; aku jadi suka dengan tempat yang kental dengan kearifan lokalnya dan dekat dengan alam. Keinginan untuk menjalani gaya hidup ini jadi sudah mendarah daging selama hidup, pilihan cita-cita hidup masa kecilku bukan bekerja kantoran di kota besar, melainkan tinggal di ranch dengan kuda-kuda dan binatang-binatang peliharaan kesayangan, beternak, bertani, merayakan panen raya dengan berbagi suka cita, hasil panen, memasak bersama keluarga dan sahabat, wah terlalu banyak detail yang selama kecil hanya bisa dilihat di buku ilustrasi cetakan Eropa hehehe. Seringnya tempat-tempat yang seperti ini adalah tempat-tempat yang justru jauh dari kota atau peradaban modern; misalnya desa atau kampung. Rasanya tinggal di desa atau kampung lebih reflektif dan membuatku punya waktu untuk ketemu dengan diri sendiri aja.


Tahun 2015 aku pergi ke desa untuk melakukan riset tentang sustainable living di Bali bagian utara, Rumah Intaran namanya. Bersama dengan pemagang/periset lainnya, setiap hari kegiatan yang kami lakukan adalah membersihkan rumah dan halaman, pergi ke pasar, membuat api di tungku, memasak dengan peralatan desa seadanya, menemukan bahan makanan dengan kualitas terbaik baik di pasar, sumbernya, maupun meramban di halaman belakang atau sepanjang jalan, kegiatan yang kelihatannya remeh temeh, tetapi justru menjadi sangat relevan bagi keseimbangan alam, manusia dan spiritualitas diri, sesuai dengan prinsip ajaran Tri Hita Karana.
Pulang dari desa tahun 2016, aku menjalani kehidupan kota yang serba instan. 180 derajat polanya dari yang biasa dijalani di Rumah Intaran. 3 tahun kemudian, aku dan partnerku Henry memutuskan untuk mengembara aja ke desa-desa dengan bis yang dimodifikasi menjadi rumah. Bis-nya sudah ada, tapi karena masih rongsok sekali, ternyata tidak bisa langsung dipakai karena harus diperbaiki dan melewati proses panjang untuk dikondisikan. 2 tahun. Dalam prosesnya, kami menemukan satu ruang kecil di kampung kota Prawirotaman yang keliatannya cocok sekali untuk menjadi toko kelontong. Satu impian lama yang menggoda untuk dihidupkan kembali. Setelah menimbang harganya yang masih masuk akal, dan letaknya di jalan kecil dari jalan raya yang memaksa orang untuk melambat, sempurna sebagai intro. Kami bertemu juga dengan teman-teman yang dulunya sama-sama menjadi pemagang dan periset di Rumah Intaran. Maka kami memutuskan untuk menyewa tempat tersebut, dan memulai perjalanan sebagai warga pendatang Kampung Kota lewat entitas yang paling dekat dengan aktivitas masyarakat: toko kelontong yang kami beri nama Ranah Bhumi.

Bukhi Putri & Ranah Bhumi’s Crew

Keputusan ini menguji kami yang baru saja datang sebagai warga kota yang serba instan. Bahkan dengan perspektif dan pengetahuan kami terhadap gaya hidup berkelanjutan, kehidupan di Kampung Kota Prawirotaman melambat secara signifikan dibandingkan di kota. Renovasi yang kami prediksi dapat dilakukan sebulan saja, baru selesai 4 bulan. Tentu bukannya tanpa alasan. Tukang-tukang di Yogya tidak terlalu mengejar target. Sesekali mereka akan libur seminggu jika ada hajatan di kampung asalnya. Tapi dari proses ini, kami jadi ikut berinteraksi lebih banyak dengan orang desa, mengenali gaya hidup mereka, dan bahkan terinspirasi dari mereka.
Ketika toko kelontong jadi, kami mempraktekkan apa yang kami pernah pelajari baik di Bali, maupun di desa-desa lain. Kami memulai lagi aktivitas bertanam, ke pasar, memasak, memilah sampah, melakukan tugas-tugas terkait rumah tangga tanpa bantuan asisten rumah tangga, bermain di pantai, air terjun, berinteraksi dengan pengrajin terkait pengembangan produk, atau sekedar ikut nongkrong dengan kumpulan ibu-ibu lokal yang senang ngobrol dan bercanda di pinggir rumah. Kami mulai lebih banyak berinteraksi dengan alam, warga lokal, dan diri kami sendiri. Kami menyadari lewat interaksi ini, bahwa selama ini banyak waktu dan ruang terisi oleh kekhawatiran, aktivitas tidak terlalu esensial yang wajar ditemui di kota. Di kampung kota ini, ada banyak ruang untuk berkomunikasi dan kontemplasi baik dengan warga kampung kota, alam sekitar, juga diri sendiri. Ada banyak ruang yang bisa diisi oleh kebaikan, tawa canda, kreativitas, dan banyak hal positif lainnya.

https://www.instagram.com/kianatariona

Apa yang jadi inspirasi Bukhi saat menerapkan Slow Living?

Nusantara dan warga lokal di desa/kampung kota.

Dalam menerapkan Slow Living apakah Bukhi juga menerapkan gaya hidup minimalis? apakah ada pengaruh pola pikir minimalis dengan slow living?

Lucunya, menerapkan gaya hidup ini di desa/kampung kota menjadi paradoks buatku. Dulu sebelum pindah ke Jogja dan menerapkan gaya hidup ini, aku ngga memiliki banyak peralatan, karena sebagian besar aktivitas harianku terselesaikan oleh fasilitas yang diberikan kota atau pengembang di tempat tinggalku. Misalnya bertanam, sudah ada tukang kebun yang merawat, sampah pilahan (bahkan yang organik) sudah ada mengelolanya. Makanpun seringnya dibarengi dengan meeting, jadi jarang sekali punya waktu untuk masak sendiri. Dengan adanya toko kelontong di kampung kota yang memiliki visi keberlanjutan, justru mendorong kami untuk melakukan segalanya sendiri. Dan konsekuensi yang timbul justru bertambahnya peralatan. Misalnya ketika kami memutuskan untuk berkebun, kami jadi memiliki peralatan kebun. Lalu belajar dari bagaimana masyarakat desa mengelola nutrisi lewat beragam sumber makanan dan cara memasak, kami pun ingin melakukan hal yang sama. Tetapi konsekuensinya kami perlu peralatan yang cukup untuk memadai aktivitas tersebut, misalnya jika dulu aku ngga punya ulekan batu, sekarang jadi punya ulekan batu, dan masih banyak contoh lainnya. Dalam konteksku, slow living memiliki konsekuensi jadi tidak seminimalis dulu ketika aku tinggal di kota. Tetapi secara jiwa, pikiran dan raga, rasanya justru jauh lebih ringan. Sebutlah minimalis yang terjadi justru kualami dari berkurangnya pikiran-pikiran yang tidak perlu, asupan makanan yang tidak perlu ke dalam tubuh, serta ruang yang lebih luas untuk diisi dengan syukur dan hal-hal spiritual lainnya.

Dengan kesadaran untuk hidup minimalis ini, meskipun peralatan2ku bertambah secara jumlah dan fungsi, tetapi mereka didapatkan dari cara yang seramah lingkungan mungkin, misalnya dengan membeli sendok garpu piring dari teman-teman yang sedang mengadakan garage sale, atau talenan hibahan dari teman, atau barter dengan ulekan. Kalaupun harus membeli, kami pastikan untuk membelinya dari warga/pedagang lokal yang memang biasanya lewat dengan menjinjing jualannya di depan toko kami. Jadi goal kami untuk tetap beraktivitas dan memperpanjang usia material pun tetap tercapai.

https://www.instagram.com/ranahbhumi.katalog

Apa dampak terbesar dari menjalani Slow Living bagi Bukhi?

Dampak terbesar yang kurasakan adalah ruang yang lebih luas yang kurasakan dalam hati, pikiran dan jiwaku. Dengan melambatkan gaya hidup, aku jadi punya waktu untuk memperhatikan hal-hal paling esensial dalam hidupku, minimalis yang terjadi justru kualami dari berkurangnya pikiran-pikiran yang tidak perlu, malah diisi dengan ide-ide untuk berbuat baik, berkarya dan berkomunikasi dengan sesama, asupan makanan yang tidak perlu ke dalam tubuh, digantikan makanan-makanan bernutrisi yang diperoleh langsung dari sumbernya, serta ruang yang lebih luas untuk diisi dengan syukur dan hal-hal spiritual lainnya. Tentu saja semua ini mengakibatkan kebahagiaan yang berlimpah-limpah. Rintangan hidup pasti ada, tapi entah kenapa menjalaninya jauh lebih ringan.

Ada tips dari Bukhi untuk teman-teman yang baru mau menjalankan Slow Living di 2020?

Tips apa ya? Waduh, aku bingung sih karena setiap orang bisa berangkat dari motivasi yang berbeda-beda. Tapi mungkin yang paling utama dan pertama adalah melambatkan diri sendiri dulu kali ya. Beri waktu diri sendiri untuk hening, mengenali lebih jauh hal esensial apa yang kita butuhkan, beri ruang diri sendiri dari pikiran-pikiran yang tidak perlu. Lalu dijaga ritmenya. Di satu titik, setelah kita memahami diri kita sendiri, kita jadi aware dengan segala hal yang berhubungan dengannya. Misalnya, kalau selama ini kita makannya tidak diperhatikan, setelah tau apa yang dibutuhkan tubuh kita, kita jadi lebih sering aware dengan makanan-makanan sehat,

https://www.instagram.com/ranahbhumi.katalog

Bahkan setelah terbiasa, kalau lagi jalan-jalan bisa aware beberapa tanaman sehat yang kita tau sehat untuk tubuh kita. Tapi kayaknya saranku untuk yang mau mulai, beneran kasih jeda/waktu hening ke diri sendiri dulu. Bisa dengan meditasi, sholat, ibadah, yoga, dll. Kasih ruang pikiran kita dari hal-hal yang ngga perlu (khawatir dengan masa depan, atau menyesali masa lalu), hidup di saat ini, selalu siapkan ruang seluas mungkin untuk berkomunikasi dengan-Nya. Selanjutnya sih akan otomatis jalan sendiri.


#BelajarJadiMinimalis diinisiasi oleh Lyfe With Less, merupakan ajakan kepada teman-teman yang tertarik mengenal dan mempelajari gaya hidup minimalis di Indonesia.

Lebih banyak informasi dan sharing mengenai gaya hidup minimalis di Indonesia bisa kamu ikuti di Instagram @lyfewithless. Dengarkan juga podcast Lyfe With Less di Spotify, Anchor, Google Podcast, Radio Public dan Breaker.

0 Shares
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like