Minimalis Yang Maksimalis: Kesalahpahaman Minimalisme yang Berbahaya

0 Shares
0
0
0

Sudah 2 tahun ke belakang, aku mulai menemukan titik kenyamanan dalam hidup. Transisi yang sangat cepat, mengubahku yang awalnya hidup bodoamatan, boros, yolo yang berlebihan, hingga akhirnya menjadi aku yang selalu mengedepankan kesederhanaan, berfokus pada fungsi dibandingkan keindahan semata, menghilangkan distraksi yang tidak menyenangkan, dan masih banyak lagi.

Tepat 2 tahun juga aku selalu berkaca kepada diri sendiri. Sudah sejauh apa aku nyaman menjadi minimalis? Sudahkah aku menjadi si x yang sangat minimalis, si y yang bisa menyeimbangkan fungsi dan estetika sekaligus, dan si a b d e f g yang selalu aku bandingkan dengan diriku sendiri.

Perlahan, arah kehidupan minimalisku kian berubah. Aku tentu belajar banyak dari mereka yang sudah menerapkan gaya hidup ini jauh sebelum aku. Tapi pada akhirnya, aku malah dibuat bingung dan tidak menyadari,


“Sebenarnya, aku minimalis untuk diriku sendiri atau hanya untuk pemuas nafsu dan ego?”

Photo by Bernard Hermant on Unsplash

Gaya hidup yang aku jalani saat ini, membuat orang lain juga mulai memberikan label khusus untukku. Mulai dari Aku si Minimalist, Aku si Black and White Person, Aku si Kaosan Polos Warna Hitam, dan masih banyak lagi.

Sampai pada titik tertentu, di sela-sela meditasi rutin yang aku jalani setiap pagi sebelum bekerja, timbul pertanyaan yang selalu aku pikirkan setiap saat.

“Selama ini, apakah aku sudah menjalani gaya hidup minimalis dengan benar, sebagaimana para minimalis lainnya yang aku lihat?

Tapi, memangnya ada gaya hidup minimalis yang salah? Well, setelah aku research, ternyata ada! 

Tapi bukan kesalahan mutlak, tapi lebih kepada kesalahpahaman yang akhirnya mengakibatkan arah dalam menjalani gaya hidup tersebut menjadi melenceng jauh dari yang seharusnya.

  1. Inspirasi atau Obsesi?
Photo by Diego PH on Unsplash

Pada dasarnya, setiap orang memiliki cara dan gayanya sendiri dalam mengaplikasikan minimalisme ke dalam kehidupannya. Hal yang selalu aku tangkap ketika aku mendalami tentang minimalisme dari berbagai sumber, selalu mengatakan bahwasanya minimalisme tidak ada rules pakem atau dibuat oleh kesepakatan bersama.

Minimalisme hadir untuk menyederhanakan, bukan untuk membuat aliran hidup baru yang sama rumitnya ketika aku belum menyentuh minimalisme sama sekali. 

Aku sering mengkotak-kotakkan jenis minimalisme berdasarkan behavior para minimalis yang punya keunikannya tersendiri. Hingga pada akhirnya, aku merasa aku harus mengikuti semua jenis minimalisme yang ada. Seperti apa yang disampaikan oleh Gabe Butt, minimalist content creator yang membagikan 5 jenis minimalis melalui kontennya yang berjudul “The 5 Kinds of Minimalists

Padahal, tidak semuanya harus aku ikuti. Aku menjadikan mereka semua sebagai kriteria, bukan sebagai inspirasi. Betul, aku terlalu fokus dalam menggabungkan pola hidup minimalisme dari berbagai individu, bukan menyaringnya. Aku ingin menjadi a, b, c d, hingga menjadi z sehingga aku berharap menjadi seorang minimalis sejati.

Mindset dan prinsip yang benar-benar keliru.

Akhirnya, aku mulai reset pola minimalisku sendiri. Aku menyaring dari mereka, kemudian aku mulai menciptakan gaya hidup minimalis versi aku. Tanpa ada distraksi dari orang lain, tanpa ada kriteria tertentu yang harus aku ikuti. Aku saat ini selalu menjadikan mereka sebagai inspirasi dalam proses #BelajarJadiMinimalis, bukan patokan tertentu yang wajib aku ikuti.

2. Too Good to Judging Others

Photo by Courtney Nuss on Unsplash

Kesalahanku selanjutnya adalah, menjadi minimalis yang judgemental. Aku selalu melihat orang lain yang mulai menjalani gaya hidup minimalis dengan caranya sendiri, lalu aku remehkan dan selalu mengatakan,

“Paling juga dia cuma ikut-ikutan”

Paling juga besok udah boros lagi”, 

“Sok minimalis banget cuma karena sering ke cafe minimalis

Padahal, minimalism is not a race. Bukanlah sebuah perlombaan yang punya garis finish di depan. Bukan sebuah kompetisi siapa yang paling minimalis di Dunia.

Tapi aku melakukan itu. Sebuah kesalahan fatal yang membuat gaya hidup minimalis yang aku jalani terlalu monoton dan tidak berkembang.

Itu semua karena aku selalu melihat orang lain, bukan diriku sendiri. Shameful.

3. Minimalism as a Label, not a Tool

Photo by ÉMILE SÉGUIN ?? on Unsplash

Ini adalah sebuah kesalahan paling fatal dari semua yang aku pahami tentang minimalisme. Karena aku menjadikannya sebagai label semata, banyak esensi yang justru hilang dari yang seharusnya. Aku selalu “angin-anginan” atau tidak konsisten dalam menjalani gaya hidup ini. Aku merasa aku hanya perlu minimalis ketika di depan orang lain, berlagak paling minimalis dibandingkan teman-temanku yang lain.

Ketika aku menjadikan minimalisme sebagai label, pada akhirnya gaya hidup minimalisme yang aku jalani hanya bertujuan untuk pamer label “minimalis” yang melekat di diriku. Seperti misalnya ketika aku membeli barang-barang aesthetic untuk kamarku. Karena aku melihat beberapa tokoh minimalis yang sebagian besar memiliki kamar yang sangat aesthetic, memacu semangatku untuk menyulap kamarku persis dengan mereka.

Hasilnya? Kamarku jadi penuh oleh barang-barang “minimalist and aesthetic”. Pada akhirnya, aku tidak bisa membedakan barang mana yang sebenarnya dibutuhkan, terlebih barang yang memiliki lebih dari satu fungsi. Ini mindset yang salah dari aku sejak mengenal gaya hidup minimalis,

“Bahwa sesungguhnya menjadi minimalis bukan sekadar memiliki barang yang aesthetic. Tapi berfokus pada kebutuhan dan value dari barang itu sendiri, baik memiliki keindahan atau tidak. Berfokus pada fungsi dibandingkan estetika semata.

Photo by Ella Jardim on Unsplash

Dari kejadian itu. aku mulai menjadikan minimalisme sebagai alat. Alat untuk menyederhanakan apa yang aku miliki, alat untuk menjauhkan diri dari keborosan dan hidup mewah yang tidak menciptakan kebahagiaan sejati. Alat untuk selalu refleksi diri ketika aku terlalu berfokus pada kuantitas dibandingkan kualitas.

Aku menyadari kalau aku menjadikannya sebagai label, maka sifatnya akan sementara. Kesementaraan tersebut akan menciptakan sebuah minimalisme yang justru menjadi maksimalisme. Bahaya banget!

Dari 3 kesalahan besar yang aku dapati sebagai bagian dari #BelajarJadiMinimalis tersebut, aku mulai memperbaikinya secara perlahan. Tidak mudah memang, namun bukankah sebuah proses pembelajaran tidak ada yang bersifat instan?

Jika kamu punya kesalahan yang sama, kamu bisa sharing di kolom komentar ya! Jadikan proses #BelajarJadiMinimalis sebagai milestone terbaik kita dalam mencari dan menemukan kesederhanaan dalam hidup kita.

Oiya, artikel ini terinspirasi dari salah satu Minimalist Content Creator, CKSpace, yang membagikan banyak pelajaran berharga tentang minimalisme. Kamu bisa cek konten inspiratifnya di sini.


#BelajarJadiMinimalis diinisiasi oleh Lyfe With Less, merupakan ajakan kepada teman-teman yang tertarik mengenal dan mempelajari gaya hidup minimalis di Indonesia.

Lebih banyak informasi dan sharing mengenai gaya hidup minimalis di Indonesia bisa kamu ikuti di Instagram @lyfewithless. Dengarkan juga podcast Lyfe With Less di Spotify, Anchor, Google Podcast, Radio Public dan Breaker.


Tulisan ini hasil karya kontributor kami, Gilang Rizky Pradana

Editor: Cynthia S Lestari.

Tertarik menjadi kontributor kami? Kunjungi link berikut untuk menulis atau email draftmu ke hi.lyfewithless@gmail.com dengan subject: CONTRIBUTOR – NAMA.

0 Shares
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like

#BelajarJadiMinimalisMispersepsi Tentang Desain Minimalis

Desain Minimalis tidak sepenuhnya bergantung pada kata “Minimal”, bisa jadi karena salah persepsi tentang minimalis, justru kita tidak menikmati aktivitas di dalam rumah karena desain ruang menjadi “Minimal”. Mari lebih cermat terhadap persepsi yang salah tentang desain minimalis.