Over Decluttering: Ketika Rapi Menjadi Obsesi

0 Shares
0
0
0

Every minute you spend looking through clutter, wondering where you put this or that, being unable to focus because you’re not organized costs you: time you could have spent with family or friends, time you could have been productive around the house, time you could have been making money.” ― Jean Chatzky

Apa jadinya jika kegiatan decluttering yang seharusnya menjadi kegiatan menyenangkan, menjadi satu dari sekian masalah yang muncul? Mulai dari hilangnya barang yang esensial, perselisihan dengan keluarga karena menyisihkan barang milik mereka, ketakutan berlebih akan ruang yang sempit, dan lain sebagainya?

Kegiatan decluttering sejatinya adalah salah satu kegiatan paling esensial dalam gaya hidup minimalis. Meluangkan waktu untuk melihat lagi barang yang dimiliki namun sudah tidak terpakai dalam jangka waktu yang lama, kemudian memilah dan menyisihkannya. Dengan menyisihkan barang yang sudah tidak terpakai, membuat ruangan yang ada di rumah kamu menjadi lebih lega dari sebelumnya. Tapi apa jadinya jika kita too addicted dengan decluttering, yang akhirnya justru menjadi over?

Photo by Sarah Brown on Unsplash

Sejujurnya, kejadian over decluttering sering aku alami selama beberapa waktu ini. Over decluttering yang aku alami terjadi karena aku selalu fokus pada barang yang harus sedikit, nyaris mendekati tidak ada. Tapi, sayangnya aku tidak membuat daftar perencanaan barang apa saja yang aku declutter, dan barang mana yang seharusnya masih disimpan.

Semua langsung disisihkan, dengan harapan aku bisa melihat isi kamar, gudang, kamar mandi, dapur, dan seluruh isi rumah menjadi lebih sedikit dan lebih lega dari sebelumnya.

Beberapa hari kemudian, petaka dimulai. Keluargaku satu per satu menanyakan barang yang mereka miliki kepadaku. Mereka kemudian menyalahkanku karena membuang barang mereka tanpa menanyakannya terlebih dahulu.

Terlebih, barang yang aku buang adalah barang yang penting bagi mereka. Mulai dari peralatan dapur, isi lemari pakaian, barang-barang yang ada di rak ruang keluarga, bahkan aku juga membuang barang-barang di kamar mandi, padahal beberapa diantaranya adalah milik keluargaku.

Photo by Dan Gold on Unsplash

Over decluttering ini tidak hanya berhenti sampai disitu saja. Lambat laun, berbagai masalah pun muncul karena over decluttering, tidak hanya pada keluargaku di rumah, tapi diriku sendiri. Mulai dari menghilangkan dokumen untuk tugas akhir kuliah karena tidak sengaja terhapus dalam proses decluttering, menghilangkan pakaian teman kos karena tidak sengaja aku donasikan, dan masih banyak lagi.

Akibatnya, aku harus bertanggung jawab untuk membeli kembali peralatan yang seharusnya ada, tapi malah aku sisihkan. Penyesalan terbesar hingga membuat aku bertanya,

“Apakah gaya hidup yang aku jalani terlalu berlebihan?”

Photo by Armin Lotfi on Unsplash

Kegalauanku tentang over decluttering memberikan jeda untuk tidak melakukannya dalam jangka waktu yang cukup lama. Over decluttering akhirnya mengajarkanku bahwa sesuatu yang berlebihan itu tidak selamanya baik. Jika aku pernah melihat berbagai tokoh minimalis yang ekstrim, ternyata apa yang dlakukannya tidak berlaku bagi semua orang, termasuk aku.

Over decluttering juga mengajarkanku bahwa rapi tidak bisa dijadikan obsesi tanpa perencanaan yang bijak dan detail. 

Obsesi terhadap ruang yang luas, obsesi terhadap barang yang nyaris kosong hingga berlebihan, niatnya ingin lebih lapang, malah jadi kehilangan banyak barang yang sebenarnya bisa dimanfaatkan tanpa harus beli barang tersebut kembali.

Photo by Armin Lotfi on Unsplash

Terus, apa yang bisa aku lakukan untuk menjauhi over decluttering?

  1. Lihatlah semua barangmu, keluarkan semuanya sehingga kamu bisa melihat & memikirkannya dengan jelas. 
  2. Buatlah dialog dengan dirimu sendiri, sadari dan tanyakanlah semua hal yang berhubungan dengan dirimu, mana yang masih bermanfaat dan memberikan value dan mana yang tidak. 
  3. Jangan lupa untuk jujur pada diri sendiri, jika masih bisa dimanfaatkan berarti belum waktunya disisihkan. Pun sebaliknya, jika sudah tidak bermanfaat artinya sudah tidak bisa lagi kamu simpan. 
  4. Lalu, pahami batasan akan apa yang kamu miliki dan juga apa yang orang lain miliki. Mulailah dari barang kepunyaanmu, tak perlu mengurusi barang orang lain yang belum mulai #BelajarJadiMinimalis. 

Karena #BelajarJadiMinimalis tidak menuntutmu untuk menjadi over terhadap semua hal, termasuk dalam decluttering.

Minimalisme sejatinya menyederhanakan hidup, bukan justru merumitkannya. Decluttering akan menjadi kegiatan yang menyenangkan jika kita paham batasan dalam melakukannya


#BelajarJadiMinimalis diinisiasi oleh Lyfe With Less, merupakan ajakan kepada teman-teman yang tertarik mengenal dan mempelajari gaya hidup minimalis di Indonesia.

Lebih banyak informasi dan sharing mengenai gaya hidup minimalis di Indonesia bisa kamu ikuti di Instagram @lyfewithless. Dengarkan juga podcast Lyfe With Less di Spotify, Anchor, Google Podcast, Radio Public dan Breaker.


Tulisan ini hasil karya kontributor kami, Gilang Rizky Pradana

Editor: Cynthia S Lestari.

Tertarik menjadi kontributor kami? Kunjungi link berikut untuk menulis atau email draftmu ke hi.lyfewithless@gmail.com dengan subject: CONTRIBUTOR – NAMA.

0 Shares
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like

DeclutteringAlasan Kenapa Semua Orang Perlu Decluttering

Tidak hanya seorang minimalis yang perlu melakukan decluttering, para non minimalis juga perlu melakukannya. Bahkan mungkin banyak orang yang sudah mempraktekkannya tetapi tidak familiar atau tidak mengetahui bahwa apa yang dilakukan tersebut dikenal sebagai decluttering.