Minimalism Journey: Start From Simplicity

0 Shares
0
0
0

Gaya hidup minimalis saat ini menjadi perhatian bagi semua orang. Sudah banyak yang mulai melirik bahkan mengadopsinya mulai dari Influencer hingga orang biasa. Semakin banyak yang memulai maka banyak yang melihatnya sebagai trend belaka, tidak heran ada yang mencibir bahkan nyinyir karena temannya menjalani gaya hidup minimalis.

Padahal, ia baru saja beralih ke gaya hidup yang sejati. Hanya mengurusi apa yang penting baginya setelah sekian lama terlalu pusing dan ribet mengatur semua hal bahkan sampai kehidupan orang lain.

Kembali pada gaya hidup minimalis. Sebenarnya aku menjalani gaya hidup ini sejak kecil. Walaupun tidak secara langsung, orang tuaku mengajarkan untuk selalu rapi terhadap barang yang aku miliki. Berawal pada teguran lembut hingga yang keras. Rupanya, aku berusaha dididik untuk menjadi anak yang rapi dengan kamar yang tidak menyisakan barang-barang yang berantakan sedikitpun. Lambat laun, kebiasaan merapikan barang yang aku miliki telah terbiasa aku lakukan hingga aku dewasa.

Yah, kurang lebih 10-15 tahun kebiasaan merapikan barang terus ada, bahkan di setiap detiknya. Aku menjadi lebih aware dengan barang yang aku miliki. Aku jadi sadar bahwa tidak semuanya barang yang aku inginkan, bisa aku penuhi. Aku mengandalkan teknik berdialog dengan diri sendiri sebelum memutuskan sesuatu.

Ketika aku ingin membeli suatu barang baru, apapun jenisnya, aku selalu bertanya dengan diriku sendiri.

“Apakah aku benar-benar membutuhkannya? Atau, hanya sekedar ingin tapi sebenarnya tidak butuh?”

Kedengarannya memang rumit. Tapi, pertanyaan ini menjadi fondasi dasarku untuk menjalani hidup minimalis.

Terlahir sebagai keluarga yang berkecukupan, tidak menjadi pantangan aku untuk meraih segala sesuatunya dengan barang. Tidak, sama sekali tidak.

Sampai pada akhirnya aku harus merantau ke Malang untuk menempuh pendidikan sarjana. Aku mau membuktikan, tanpa kehadiran orang tua apakah aku bertahan untuk selalu orang yang rapi dan menjalani gaya hidup minimalis? Walaupun pada saat itu istilah minimalisme masih sangat jauh dari telinga dan pikiranku.

Start From Simplicity

Perjalanan untuk merantau menjadi pengantar aku untuk tujuan yang lebih nyata. Untuk semakin yakin dengan pilihan hidup yang telah ditentukan sejak lama. Di dalam lubuk hatiku, sebenarnya aku masih meragukan prinsip hidup ini.

“Siapa sih yang ingin selalu hidup sederhana? Emangnya, dia gamau jadi orang kaya ?”

Pikirku berulang kali. Kesederhanaan terkadang membuat harapan dan impian semakin dibatasi. Seolah, dibatasi tembok besar Cina yang sulit rasanya untuk menembusnya. Apakah dengan kondisi aku yang serba sederhana, dengan sedikit barang yang aku punya, bisa aku nikmati setiap hari tanpa rasa penyesalan?

Dimulai dari hal yang paling sederhana. Dialog dengan diri sendiri, untuk meminta jawaban atas segala keinginan yang sifatnya sementara.

Kenyataannya, aku perlahan berhasil menjalani gaya hidup minimalis selama 4 tahun kuliah di kota Malang. Walaupun tidak sepenuhnya sempurna. Aku terkadang masih boros, masih membeli ini itu berdasarkan asumsi dan keinginan, masih senang dengan banyak barang di kamar kost, masih santai dengan gaya hidup yang lebih dari sederhana.

Namun, keborosan dan kemewahan yang aku nikmati tidak bertahan lama. Tahun 2018, aku mulai sadar bahwa aku sudah jauh dari tujuan hidupku sebenarnya, menjalani hidup minimalis yang telah diajarkan oleh orang tua, yang dibawa dan diterapkan di perantauan. Penyesalan tersebut datang ketika aku melihat kamar yang sangat berantakan. Pada hari itu, aktivitas perkuliahan membuat aku stress dan tidak karuan. Kamar menjadi pelarian terbaik untuk melampiaskan rasa stress yang aku derita.

Tapi, justru kamarku menjadi pelengkap penderitaan atas semuanya.

“Kenapa sih bisa bisanya kamar berantakan banget?”

Akhirnya aku sadar, aku sudah jauh dari hidup rapi. Perlahan, aku bereskan sampah yang menggunung, pakaian yang lusuh dan kotor, dan juga perabotan kamar yang entah bagaimana nasibnya.

Lega rasanya melihat kamar kemudian menjadi rapi kembali. Teringat dengan pesan Ibu untuk selalu bereskan kamar ketika ingin tidur. Aku lakukan kembali, dengan waktu serta ruang yang berbeda.

Dari situ, aku mulai memahami bahwa sejatinya aku hanya butuh hidup rapi dan cukup. Melepaskan ego dan pikiran negatif dengan menyisihkan apa yang aku punya. Mulai dari barang, pikiran, serta isi handphone dan laptop yang kadang mengganggu karena terlalu banyak folder serta file yang sudah tidak terpakai.

Dari kejadian itu, aku mulai membiasakan diri kembali. Mulai belajar dari 0 kembali. Belajar tentang esensi merapikan, esensi hidup sederhana,an, esensi hidup minimalis.

Photo by Clay Banks on Unsplash

Dengan kamar yang tidak luas, aku bisa memaksimalkan ruang kamar yang terbatas menjadi kamar yang lebih luas dari sebelumnya. Tanpa perabotan kamar yang hanya terpakai sekali seumur hidup, tanpa kotoran serta debu kamar yang kadang bikin flu tidak karuan, dan yang terpenting,

Lepas dari pikiran negatif tentang sesuatu. Tentang kemelekatan. Tentang percaya pada kuantitas dibandingkan kualitas. Tentang berusaha untuk semakin menyayangi barang yang dimiliki. Tentang dialog-dialog kecil antara aku dengan apa yang aku miliki saat ini.

Dari situ, aku mencoba untuk memberikan pemahaman kepada lingkungan sekitar. Aku berusaha untuk kembali pada diri aku sebelumnya, tanpa membuat pemberitahuan atau broadcast pesan berantai kepada teman-teman.

Hanya aku, dengan duniaku yang baru. Memulai hidup sederhana kembali seperti sediakala.

Dimulai dari hal yang sederhana, dari diriku sendiri.

“Sudah siapkah dengan perjalanan kesederhanaan ini di esok hari?”


#BelajarJadiMinimalis diinisiasi oleh Lyfe With Less, merupakan ajakan kepada teman-teman yang tertarik mengenal dan mempelajari gaya hidup minimalis di Indonesia.

Lebih banyak informasi dan sharing mengenai gaya hidup minimalis di Indonesia bisa kamu ikuti di Instagram @lyfewithless. Dengarkan juga podcast Lyfe With Less di Spotify, Anchor, Google Podcast, Radio Public dan Breaker.


Tulisan ini hasil karya kontributor kami, Gilang Rizky Pradana

Editor: Cynthia S Lestari.

Tertarik menjadi kontributor kami? Kunjungi link berikut untuk menulis atau email draftmu ke hi.lyfewithless@gmail.com dengan subject: CONTRIBUTOR – NAMA.

0 Shares
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like