Own Less, Gratitude More: My Journey to Minimalism

1 Shares
1
0
0

Ada banyak nilai filosofis yang bisa dijabarkan, atau direnungi satu-satu, tapi saya mau membuat gagasan tentang minimalism menjadi lebih sederhana di tulisan ini.

Mulai dari hal yang remeh terlebih dulu. Minimalism adalah sebuah cara hidup untuk mengurangi atau menghilangkan rasa kepemilikan terhadap barang atau benda –possession with stuffs-. Ide ini muncul dari kesadaran bahwa kebahagiaan tidak datang dari benda-benda yang kita miliki, atau dari banyaknya uang yang kita punya untuk membelinya.

white desk lamp beside green plant
Photo by Samantha Gades

Semakin hari, tanpa disadari kita hidup dengan begitu banyak benda. Sebagian besar dibeli karena kita diberi tahu bahwa kita membutuhkannya, dan bahwa hidup bisa lebih bahagia dengan memilikinya. Semakin banyak benda diproduksi, semakin banyak pula iklan yang dijejalkan, semakin besar keinginan untuk membeli, dan semakin banyak waktu yang kita habiskan untuk mencari uang agar mampu membelinya. Begitulah konsumerisme bekerja, seperti lingkaran setan yang siap menghanyutkan siapapun.

Dulu, waktu zaman menganggur, mungkin sekitar tahun 2013, zaman tanggal muda adalah tanggal yang sangat biasa, sebiasa tanggal-tanggal lainnya. Saya pernah menemani teman belanja, dia beli handbag dan sepatu untuk menghadiri undangan pernikahan temannya beberapa hari lagi. Teman saya sudah kerja dan gajinya lumayan, malah lumayan sekali bagi saya yang waktu itu masih minta ke orang tua. Begitu sampai kasir saya kaget melihat total belanja yang dihabiskannya. Saking kagetnya saya cerita ke temen saya yang lain. Reaksi temen saya “halah paling kamu juga gitu besok kalo udah kerja”.

Ternyata itu benar terjadi. Meskipun waktu itu saya ngomel-ngomel dan yakin kalo saya nggak mungkin menghabiskan uang sebanyak itu dalam sekali belanja, ketahuilah bahwa kira-kira setahun kemudian saya menjilat ludah sendiri.

Ketika setahun kemudian saya belanja dengan nominal yang bahkan nggak kalah banyak dari temen saya tadi, waktu itu saya punya pembelaan.

“Oh mungkin memang begini ya kalo udah kerja dan punya gaji”
“Wajar lah, nyenengin diri, kan udah capek kerja”
“Apalagi dulu si anu kerjanya sampai lembur-lembur segala, ya maklum lah kalo dia ngabisin banyak uang buat beli barang. Mungkin itu salah satu cara bikin bahagia.”

Lalu saya sadar, ada yang salah dengan logika yang terdengar sangat manis dan rasional itu. Memang nggak sedikit kan hal-hal yang terdengar rasional tapi bertolak belakang dengan nurani.

Berbekal keyakinan tersebut saya mencoba mulai dari diri sendiri, dari yang kecil dan mudah. Awalnya memang bingung memulainya dan merasa kalau barang-barang yang saya miliki memang benar-benar saya butuhkan. Meskipun banyak sekali informasi tentang minimalism di internet, do’s and don’t, dan banyak lagi artikel-artikel panduan lainnya, saya merasa saya butuh sebuah panduan yang bisa dipraktekkan. Setelah mencari-cari, pilihan saya jatuh pada buku The Life Changing Magic of Tidying Up.

Sebagai anak kosan ada beberapa hal yang tidak bisa sepenuhnya diterapkan. Tapi bagi saya, minimalism ini bisa diadopsi sesuai kebutuhan namun tetap berpegang pada keyakinan bahwa barang, benda, stuff, matter, will not bring happiness to us. So keep it less and do not attach to them.

Tanpa bermaksud melebih-lebihkan, live with less is really makes me happier and calmer. Sedikit sulit untuk menggambarkannya, selain karena kemampuan saya yang terbatas dalam berkata-kata, juga keterbatasan kata-kata itu sendiri dalam mewakili suatu perasaan. It is hard to explain how unbelievably amazing it feels to remove the clutter from my room and life.

Mungkin bisa dianalogikan seperti ini, semakin banyak benda berarti semakin banyak distraksi terhadap pikiran, semakin banyak distraksi maka semakin sulit untuk bisa berkomunikasi dengan diri sendiri. Percayalah, setiap kita punya kemampuan ini. Kemampuan untuk berkomunikasi dengan diri sendiri bisa dengan alami berfungsi jika kita mampu berpikir jernih dan isi kepala ini nggak riuh.

Menjadi minimalis adalah proses yang berkelanjutan dan bukan hasil instan. Itu yang saya yakini. Karena bagi beberapa orang mungkin nggak mudah untuk tiba-tiba hidup dengan segelintir benda yang sebelumnya sangat banyak. Engga cuma proses mengurangi aja, tapi juga proses menahan untuk membeli/menambah benda/barang. Prakteknya gampang-gampang susah, tapi lama-lama juga bakal terbiasa.

right arrow sign on wall
Photo by: Hello I’m Nik

Selain bukunya Marie Kondo, ada satu film dokumenter yang layak ditonton berjudul Minimalism: A Documentary About The Important Things. Terlepas dari sinopsisnya, bagi saya film ini berusaha mengajak untuk mendefinisikan kembali arti sukses bagi setiap orang. Dari film ini juga saya memperoleh pemahaman bahwa minimalism bukan sekadar mengurangi benda atau kepemilikan terhadapnya, lebih dari itu minimalism adalah sebuah cara berpikir untuk lebih sadar dalam menjalani segala hal, yang porsi besarnya adalah hidup itu sendiri. Dengan kesadaran ini diharapkan hal-hal yang kita lakukan, waktu yang digunakan, dan segala hal yang dikorbankan selama kita hidup adalah hal yang kita tahu esensinya, urgensinya, dan kebermanfaatannya. Yang lebih penting lagi, dan perlu ditanyakan betul-betul pada diri sendiri adalah “will this really makes me happy?” ?

1 Shares
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like