Sebagai content creator,dapat kiriman product package untuk endorsement adalah hal yang biasa. Produk yang dikirim seringkali diiringi dengan kemasan yang dipercantik seperti box, kardus, bubble wrap, pita, atau ornamen lain agar terlihat lebih menarik. Tetapi siapa sangka kalau kemasan-kemasan nan cantik ini justru bisa membuat stres dan cemas karena menumpuk dan malah berakhir jadi sampah. Sebagai content creator, Alodita dan Anya juga merasakan hal ini loh! Mereka membagikan pengalaman mengenai endorsement product package kepada tim Lyfe with Less.
Sebagai seorang digital content creator, PR Package terbanyak yang diterima dalam sebulan berapa sih?
Buat Alodita, setiap minggunya bisa mendapat kurang lebih 5 boks. Bahkan maksimal bisa 8-10 boks, yang biasanya merupakan produk, hadiah dari brand, ataupun makanan/minuman. Meskipun untuk jumlahnya engga tentu, semisal ada 5 boks tiap minggu dan dikalikan 4, berarti sebulan bisa kurang lebih ada 20 boks! Itupun baru punyanya Malo (Alodita) aja ternyata, belum dihitung punya suaminya juga. Saat lebaran kiriman ini juga semakin menggunung.
“Buat aku pribadi karena aku merayakan Idul Fitri, menjelang lebaran bikin aku cemas karena banyak banget kiriman makanan, baju, apapun itu yang sebenernya agak kebanyakan. Banyak barang yang jadi punya double. Dan yang paling berasa adalah food waste, banyak banget makanan yang terbuang” Ujar Alodita
Kalau untuk Anya, case nya agak berbeda karena setiap brand yang akan kirim PR package diseleksi dulu dan setiap bulan ada limit maksimalnya, yaitu 5 brands. Produknya sebisa mungkin akan dipilih sendiri juga jadi bisa disesuaikan dengan yang sudah ada.
Kalau ada yang ngirim PR Package & kebetulan udah tau alamatnya, ada yang langsung kirim tanpa info sebelumnya atau engga?
Alo dan Anya punya jawaban yang sama nih, ada brand yang izin dulu untuk kirim dan ada juga yang langsung. Tetapi kalau buat Anya, akan lebih baik kalau brand izin dulu sebelum kirim barang.
Kita sering liat pengiriman produk package dari brand itu cantik-cantik sekali, dibalik hal itu, gimana cara mengatasi sampahnya?
Saat awal-awal Alodita jadi content creator rasanya senang banget dapet hampers yang cantik karena memang di 2014-2015 belum banyak juga brand lokal, jadi engga terbiasa kalau di kiriman hampers cantik. Di tahun 2020-2021 baru mulai merasa pusing karena ternyata hampers-hampers tersebut banyak yang jadi sampah dan double-double di rumahnya. Kalau dulu-dulu, boks kaca dan hampers banyak dipakai jadi sesuatu, seperti jadi partisi di dalam lemari atau laci. Tetapi karena sekarang sudah punya dan sudah cukup, kalau dapat lagi jadi pusing dan engga tau mau ditaruh mana.
Walaupun sudah banyak juga hampers yang dibagikan ke teman-teman dan kerabat, terutama ke anak-anak kantor Alodita, masih banyak loh jumlahnya. Bahkan mereka yang di kantor juga sudah engga kuat untuk menampung. Bayangin kalau semua hampers cantik itu ditampung sendiri, wah rumah pasti berantakan banget dan hal itu diakui bikin Malo anxiety dan stres. Jadi sekarang banyak wadah-wadah barang atau sisa-sisa hampers yang didonasikan supaya bisa berguna untuk orang lain.
Bagi Anya, setelah menerima hampers, kemasan langsung disortir untuk didaur ulang atau dipakai ulang. Hanya PR Package yang useful dan menarik yang kemudian baru di keep. Selebihnya langsung dipilah dan recycle.
“Setiap brand yang mau ngirim udah aku bilangin dari awal untuk less waste, contohnya adalah engga mau ada bubble wrap jadi mereka sudah aware biar minim sampah juga.” Anya menambahkan.
Kalau produknya sendiri, apakah Alodita dan Anya tipe content creator yang menyeleksi dengan mindful produk yang ditawarkan brand? gimana sih cara menerima tawaran kolaborasi dengan brand secara mindful?
Dari awal Malo memang pemilih karena value jadi content creator ditujukan untuk sharing hal-hal yang disukai. Meskipun terbilang picky, tetapi juga ada masanya Alodita terpengaruh dengan tawaran-tawaran proyek komersial karena melihat angka yang besar. Kebetulan beberapa tahun lalu sempat memiliki kebutuhan finansial yang cukup urgent, maka memutuskan kalau memang ada kesempatan mendapatkan uang cepat maka tawaran kerjasama akan diambil, walau sebuah brand atau produk tersebut hanya sebatas disukainya saja.
Namun berbeda dengan sekarang, hampir 8 tahun menjadi content creator, Alodita lebih banyak belajar dan lebih mengerti lagi dengan industrinya. Caranya untuk lebih mindful adalah bertanya ke diri sendiri kira-kira project ini atau saat menggandeng brand ini bisa memberikan nilai apa ke dirinya. Apakah bisa bertukar value atau bisa sama-sama menguatkan sebuah value? Selain itu, Malo juga mempertimbangkan kapasitas diri. Seperti saat jadwal sedang padat dan ada prioritas lain, semisal urusan keluarga dan waktu untuk diri sendiri. Walaupun ada tawaran pasti akan dipikirkan terlebih dulu. Kalau dihubungkan ke isu sampah PR package ini, tentunya dengan berkurangnya project maka berkurang juga jumlah sisa sampahnya.
Serupa dengan Alodita, Anya juga berusaha mindful sebagai content creator dengan melakukan sortir dari brand, product, dan value nya. Dirinya engga merasa takut untuk say no sama client. Prinsipnya adalah lebih baik menerima 1-2 brand yang memiliki sustainability value daripada menerima banyak brand tapi tidak sejalan dengan Anya. Quality over quantity.
Lebih senang mana, dikirim PR Package yang cantik menarik perhatian atau yang biasa aja tapi produknya jelas dan dalam keadaan baik?
Keduanya sama-sama setuju kalau yang terpenting adalah produknya. Sejak 2020-2021, Alodita lebih memilih produknya, atau kalau ada yang memberikan hadiah maka cuma perlu barang itu fungsional, berharga, dan berarti. Berharga baginya juga konteksnya bukan mahal, semisalnya di rumah belum punya barang A, dan ternyata ada yang kasih barang itu, pasti akan senang rasanya. Anya pun lebih merasa senang jika produknya jelas dan diterima dalam keadaan baik, atau kalau bisa sederhana tapi juga cantik.
Apa sih saran dari Alodita dan Anya untuk brand-brand diluar sana dalam mengirim produk dan menawarkan kolaborasi?
“Pertama, cari tau dulu siapa yang akan menerima barang tersebut. Kalau brand kan suka riset ke konsumennya, nah ini coba di riset juga kan kita sebagai creator juga konsumen. Kayak aku juga terganggu dengan satu hal, ini aku cerita pengalaman pribadi. Aku itu sudah engga gunakan pembalut sekali pakai, tapi ada satu brand yang ngirimin terus-terusan dan hal itu jadi beban buat aku. Meskipun begitu, aku tetap ucapkan terima kasih, tapi aku kan engga pernah bahas pembalut dan aku sering bahas soal hal itu tapi kok tetap ya dikirimin. Jadi menurutku brand atau agency cari tau dulu yang sifatnya mungkin lebih personal.”
- Alodita
Malo juga menyarankan kalau sebuah brand bisa meminta content creator mengisi form dengan pilihan-pilihan. Semisal kalau memang bersedia dikirimkan PR package maka yang seperti apa kemasannya.
Sedangkan Anya meminta agar brand lebih aware dengan limbah PR package yang dikirim.
“Pastinya tiap brand ingin produknya jadi semenarik mungkin dan berkonsep keren, ini engga masalah kok, aku juga happy menerimanya. Tapi please be mindful sama materialnya, selain buat lingkungan jadi engga repot ngurusin sampahnya. Selalu pakai bahan yang mudah didaur ulang (no bubble wrap please). Pakai box kardus recycled. Kalau kemasan PR nya dibuat reusable, better engga ada branding atau boleh ada tapi engga terlalu mencolok biar bisa terpakai dengan leluasa”
- Anya
Writer: Daniya Nahdi