“Learning to let go of storylines, whatever they are, allows us to experience a sense of freedom in our mind, our relationships and our life.”
Meditation Headspace, 2020.
Minggu lalu, aku memutuskan untuk kembali rehat dari media sosial – istilah kerennya sih digital detox. Sebelum memutuskan untuk melakukan ini, pikiranku dipenuhi oleh berbagai macam hal, dari mulai kekhawatiran tentang masa depan, kekhawatiran akan sebuah gelar menjadi “manusia gagal”, dan pikiran pikiran lainnya yang pada dasarnya tidak tervalidasi.
Seringkali, aku terjebak di ruang imajiner antara masa kini dan masa depan. Di dalamnya, perdebatan panjang antara keinginanku yang tidak sabaran ini begitu besar untuk mengetahui kabar di masa depan. Namun sayangnya, hal ini bertabrakan dengan realitas bahwa pada dasarnya pandangan manusia memiliki batasan – batasan. Banyak pertanyaan di kepala, yang perlu dan yang tidak perlu. Sambil berlalu, alih alih menenangkan diri agar hati tidak perih, aku malah seringnya mengalihkan dengan scrolling social media, seperti Instagram, Twitter, dan kadang kadang Tiktok. Seketika memang teralihkan, sampai akhirnya aku mulai membuka beberapa instastory, dan ya overthinking dimulai. Beberapa postingan akun yang aku kenal, menunjukkan beberapa kehebatan orang orang yang sekitarku yang memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik, yang membuat dunia seolah menuju mereka, sedang aku “seolah” masih berada di bagian ujung, sendirian. Hal ini menyiutkan rasa percaya diri dan membuatku seolah menjalani fase alienasi.
Peningkatan perasaan insecurity sungguh tidak terselimuti, hal ini berdampak kepada kondisi overthinking-ku yang semakin menjadi jadi.
Perasaan tidak terapresiasi, perasaan keterasingan karena tidak berteman dengan previllage cakapnya diri dalam berkomunikasi, perasaan ketertinggalan karena lingkaran pertemananku yang memiliki limitasi, perasaan kalah karena tak pernah suka dan ingin melakukan basa basi yang terkadang diperlukan untuk “membangun koneksi”. Perasaan perasaan negatif ini sebenarnya belum tervalidasi oleh diriku, artinya bisa saja itu salah. Namun, saat itu aku terus menerus memutarkan pikiran – pikiran iri tak berbalas kesadaran. Sampai akhirnya aku teringat satu obrolan panjang dengan seorang teman tentang digital minimalism, “Okay, mungkin ini waktunya untuk melepaskan yang seharusnya tidak terus menerus ku genggam” – tegas diriku kepada hati dan pikiran.
Bukan hanya sekedar log out dari aplikasi social media yang aku punya, aku memilih untuk menguninstall -nya. Hari hari awal, mudah bukan menjadi kesan. Rasanya ada keinginan untuk scrolling, tapi aku kembali mengingat tujuanku – ingin mendapatkan ketenangan dan kedamaian. Ku alihkan perasaaan – perasaan ingin scrolling itu dengan membaca buku buku yang sudah lama tidak kusapa dengan intim, lembar demi lembar kubalik meski terkadang muncul distraksi untuk memeriksa handphone. Akhirnya, aku memilih untuk ditemani oleh lagu dengan genre indie pop dan mengaktifkan setelan “do not disturb”. Halaman demi halaman terlewat dengan damai. Alhamdulillah. Perasaan – perasaan insecure, anxious dan stress yang aku rasakan berusaha aku terima, aku lepaskan dengan berlatih kembali untuk mengatur nafas dan mindfulness dengan meditasi dan juga mencoba lebih intim dalam journaling therapy.
Commitment is the foundation of a great accomplishment.
Digital Detox kali ini, distraksi akan sindrom FOMO sama sekali tidak menghantuiku, keinginan untuk mengetahui selewat tentang kabar teman dari instastory pun cukup bisa kukendalikan, termasuk mengetahui berita atau update terbaru dari influencer financial, minimalist, mental health, self-love ataupun self-development yang aku ikuti (biasanya ini adalah another distraction yang levelnya sulit). Ya, aku yakinkan pada komitmen yang sudah aku janjikan pada diriku. Kalau memang ingin melepas rindu, berkomunikasi secara langsung melalui chat Whatsapp, call atau videocall adalah hal yang aku akan lakukan. Kalau memang ingin mencari wawasan, aku bisa memilih alternatif lain seperti, googling atau membaca medium. Kebutuhan berlebihan untuk selalu berinteraksi dengan sahabat terdekat pun aku coba kurangi, walaupun di awal susahnya bukan main, tapi lama kelamaan, aku bisa mengatur ekspektasi perhatian dan sapaan yang ingin ku dapatkan untuk mereda sepi dan berbagi rindu yang berjarak selama pandemi ini.
Happiness can exist only in acceptance
Hal positif lainnya?
Aku mulai berdamai dengan kesendirian dan kesepian. Aku merasakan keintiman yang lebih baik dengan diriku, bagaimana aku mencoba untuk menikmati hal yang begitu sulit untuk ku terima – kesepian. Sendiri itu biasa, namun perasaan sepi itu yang mengganggu asa. Aku lebih damai melakukan journaling, menuliskan lebih terbuka tentang apa yang aku rasakan, mengakui kejujuran akan setiap emosi yang berantakan. Biasanya selalu ada kata kata “aku tidak apa apa, aku baik baik saja, tetap positif” yang selalu muncul seperti hujan di awal tahun, menutupi kejujuran, sampai lupa apa yang ada di dalam perasaan. Namun sekarang, aku bisa bilang kualitas self-talk ku menjadi lebih baik, aku berteman lebih akrab dengan diriku, dan mencoba menemaninya disaat apapun, termasuk di saat dia memberontak.
“Caraku untuk berlatih menerima diriku secara utuh dan sadar adalah dengan menjadi sahabat untuk diriku sendiri.”
Balebat, 2020.
Digital detox is the new minimalism
Menerima dan melepaskan perasaan – perasaan yang tidak seharusnya kugenggam erat, aku sadari sebagai bagian dari peningkatan kesehatan mentalku melalui proses rehat. Apalagi kalau tidak menimbulkan sparks joy, sebaiknya hal hal tersebut harus di-declutter, karena decluttering bukan hanya untuk baju atau benda benda tapi juga termasuk pikiran pikiran negatif yang kalau dipupuk terus bisa jadi toxic. Hal ini sejalan dengan konsep hidup minimalist, “A “less is more” attitude that aims to declutter life to leave only the things we really need”. Kondisi kondisi pikiran yang suka sekali untuk overthinking, over-sensitive, over-validating, pada dasarnya merupakan pikiran pikiran yang tidak ku butuhkan karena akan menghasilkan perasaan perasaan negatif yang kalau terus menerus dirasakan tanpa adanya terapi kejujuran akan menjadi toxic materials ke diri sendiri, kembali lagi “less is more”. Maka dari itu, seperti yang dikutip dari website www.itstimetologoff.com yang menuliskan artikel berjudul “3 Reasons Why Digital Detox Is The New Minimalism, But Better“, menyebutkan bahwa tiga alasan yang bisa menjadi latar belakang untuk melakukan digital detox untuk menghasilkan kualitas hidup yang lebih baik, diantaranya :
- Digital detox is inclusive
There are no prerequisites to change your lifestyle for the better. Anyone who wants to strive for the points mentioned above can embrace digital detox and doesn’t need to drastically change their home to do so.
- Digital detox is about balance, not missing out
Digital detox lets you enjoy the best of both worlds by showing you when your technology use is no longer benefiting you. In other words, digital detox helps you simplify the parts of your life you really need to, when you want to. Just disconnect to reconnect.
- Digital detox is achievable for everyone
Digital detox will work for everyone, not just a handful of people. And that’s why digital detox is the new minimalism.
Bisa dibilang, aku setuju dengan isi artikel tersebut, terutama untuk reason ke dua, “Digital detox is about balance, not missing out”. Hal tersebut berhasil terefleksikan di dalam pengalaman yang aku rasakan selama aku melakukan digital detox yang kali ke sekian ini. Walaupun durasinya masih pendek – pendek, tapi aku merasa kali ini progress penerimaannya lebih terasa, mungkin karena aku lebih menerima setiap perasaan yang aku rasakan, dan berteman dengan komitmen untuk menjaga kesehatan mentalku.
It’s very okay not to be okay and it’s very okay not to post it on your social media. Beberapa saat tidak berinteraksi dengan sosial media sesungguhnya tidak akan membuat kamu menjadi orang yang tertinggal atau dapat label sebagai manusia yang nggak tau apa – apa atau bahkan dapat nominasi sebagai “manusia gagal”.
Setelah ini, bukan berarti aku tidak akan membuka social media, namun intensitasnya akan ku atur agar tetap bisa hidup di realita. I do recommend this detoxing method. It works on me!
Kemudian apa yang ku rasakan dan pelajaran apa yang ku dapatkan setelah melakukan perjalanan digital detox ini?
- Merasakan perasaan dan pikrian yang lebih damai
Perasaan cemas dan insecure kurasakan berkurang, ya walaupun hal ini bukan berarti aku menjadi manusia yang super sehat mentalnya. Aku masih menjadi manusia yang berproses dan belajar untuk mengaplikasikan konsep self-love, salah satunya dengan beralih dan belajar konsep hidup minimalis yang aku rasa akan membuat mentalku lebih sehat, dan hatiku lebih damai. Mau bagaimana pun, my mental is my priority!
- Menjadi pribadi yang lebih fokus
Seringkali keterikatan dan ketertarikanku terhadap social media membuat aku mudah untuk terdistraksi. Sebentar, sebentar, aku memeriksa handphone, memeriksa social media, craving for content, dan terlalu adiktif untuk memeriksa trend apa yang sedang terjadi disekelilingku melalui dunia digital. Hal ini aku sadari membuat produktivitasku dalam menjalani keseharianku atau pun bekerja, menjadi cukup berkurang. Namun, semenjak aku mencoba untuk lebih fokus, membatasi interaksiku dengan handphone, mengatur interaksiku dengan social media. Hal ini membuat aku lebih fokus dan produktif dalam menjalani keseharianku. Aku lebih banyak membaca, lebih banyak self-talk untuk mengenal diriku, lebih fokus bekerja, lebih fokus untuk riset topik podcast-ku, produktivitas kerjaku naik, lebih lebih banyak berinteraksi dengan orang orang sekitar, dan waktu tidur yang lebih baik.
- Berhasil menyelesaikan satu season podcastku dan menyusun action plan untuk season 2 podcastku.
Ada beberapa hal yang harus dilepaskan untuk mendapatkan hal lainnya yang justru terasa lebih penting. Melepaskan beberapa saat interaksi dengan digital untuk lebih menyeimbangkan Kesehatan pikiran dan juga perasaan. Karena kesehatan yang perlu diperhatikan bukan hanya sebatas kesehatan fisik yang bisa terlihat dengan jelas oleh mata kita, tetapi juga kesehatan mental yang bisa dirasakan secara sadar dari seberapa bahagia kamu hari ini. Jadi sudah merasa hahagia hari ini?
“Remember your mental health is just important as your physical health”
Sources :
https://hasyemiraws.com/blog/disconnected/
#BelajarJadiMinimalis diinisiasi oleh Lyfe With Less, merupakan ajakan kepada teman-teman yang tertarik mengenal dan mempelajari gaya hidup minimalis di Indonesia.
Lebih banyak informasi dan sharing mengenai gaya hidup minimalis di Indonesia bisa kamu ikuti di Instagram @lyfewithless. Dengarkan juga podcast Lyfe With Less di Spotify, Anchor, Google Podcast, Radio Public dan Breaker.
Tulisan ini hasil karya kontributor kami, Balebat Buana
Editor: Cynthia S Lestari.
Tertarik menjadi kontributor kami? Kunjungi link berikut untuk menulis atau email draftmu ke hi.lyfewithless@gmail.com dengan subject: CONTRIBUTOR – NAMA.