Memanusiakan Rasa Tidak Nyaman dan Toxic Positivity

0 Shares
0
0
0
Toxic positivity menjadi satu term yang seksi belakangan. Dibahas di berbagai kanal berita, oleh media maupun influencer. Sebenarnya apa itu Toxic Positivity?

Mengacu pada Psychology Today, Toxic Positivity adalah sebuah konsep di mana seseorang hanya fokus pada hal atau pikiran positif saja dan menolak emosi negatif. Dengan kata lain, Toxic Positivity bisa berupa dorongan/ungkapan/tanggapan yang hanya bernilai positif dan mengindahkan perasaan negatif yang tidak nyaman dari diri seseorang. 

Kita tidak hanya menerima Toxic Positivity lewat manusia, kadang tulisan-tulisan di cafe, toko buku atau gym dan tempat umum lainnya seringkali memasang quotes yang bersifat toxic positivity. Contohnya tidak jarang kita temui; “Good vibes only!”, “Be positive everyday”, “Think Positive” dan kalimat serupa.

Photo by Ashley Whitlatch on Unsplash

Lalu muncul sebuah pertanyaan, “Apa yang salah dari memberikan kalimat positif kepada orang lain?” Kedengarannya baik namun tidak semua orang bisa menerima dan melakukannya. Kalimat ini hanya jadi semacam template yang diucapkan saat orang lain memiliki masalah tanpa memberikan efek tenang maupun solusi yang nyata. Catat sebagai salah bagian pertama.

Salah bagian kedua adalah saat kita memberikan kalimat tersebut ke orang lain, kita berharap (atau mungkin tidak jika hanya basa-basi saja) orang lain bisa secepatnya menemukan kembali emosi positifnya dan segera meninggalkan perasaan tidak nyamannya. Mudah yhaaaa~ Hal ini semata-mata karena pada dasarnya kita sendiri tidak nyaman berlama-lama dalam aura emosi yang tidak nyaman dari lawan bicara kita sehingga kita ingin secepatnya mengakhiri perasaan tersebut.


Memanusiakan Rasa Tidak Nyaman

Satu yang kita lupa untuk pahami di sini adalah rasa tidak nyaman itu manusiawi ada dan semua orang mengalaminya dalam bentuk yang berbeda-beda. Dengan memberikan toxic positivity, kita mengindahkan adanya rasa tersebut. Semua orang memiliki tingkat toleransi rasa tidak nyaman yang berbeda-beda dan ketika ia memutuskan untuk menceritakannya kepada orang lain, artinya ia sedang berusaha meringankan perasaan tersebut. Saat diberikan kalimat yang berupa toxic positivity, seolah-olah perasaan tidak nyaman itu remeh dan bisa diatasi dengan mudah hanya jika kita memiliki emosi positif, ingat Tuhan atau dalam keadaan tidak sedih. Bayangkan jika kamu sedang mengalami keadaan tidak nyaman lalu orang lain dengan mudahnya berkata “Banyak kok yang menderita dari kamu..” atau yang lebih parah “..Itu mungkin karena kamu kurang dekat sama Tuhan, coba abis ini ibadah dan berdoa”. Alih-alih meringankan beban, justru menambah perasaan bersalah atas kedekatan kepada Tuhan yang dinilai manusia.

Photo by Artem Beliaikin on Unsplash

Efek lain dari kalimat toxic positivity adalah kita jadi berusaha untuk sesuai dengan apa yang diucapkan lawan bicara. Mereka yang menginginkan kita untuk cepat melupakan masalah dan tampil okay, membuat kita berpura-pura untuk tampil baik-baik saja. Padahal, berbohong pada perasaan sendiri tentunya akan semakin memperparah keadaan karena sewaktu-waktu perasaan tak nyaman itu akan muncul kembali di kala sendiri.

Cobalah untuk realistis, rasa tidak nyaman yang kita alami hendaklah diterima keadaannya karena memang ia ada. Saat kita menerima adanya emosi negatif tersebut, kita bisa memutuskan langkah apa yang harus ditempuh untuk meringankan atau mengatasinya. Banyak orang yang akhirnya mengambil keputusan instan dan cepat saat ditimpa masalah bukan karena inti masalahnya, namun karena ingin menghindari dari perasaan tidak nyamannya. Dan,

Terkadang susah-susah kita mencari teman untuk bercerita, ternyata tak jarang hanya dengan menerima adanya perasaan tak nyaman tersebut sudah jadi jalan keluar untuk diri kita. 


Toxic Positivity & Minimalism

Bagaimana mengaitkan toxic positivity dan minimalisme? Kami mengaitkannya dengan konsep berpikir minimalisme yang bisa diterapkan saat kita menjumpai toxic positivity. Cara berpikir minimalis mengajarkan kita untuk memilah mana yang perlu kita cerna dan mana yang tidak. Saat kita mendapatkan kalimat toxic positivity, kita bisa mengabaikan apa yang ia katakan jika memang isinya hanya berupa template. Sehingga tidak perlu lagi menambah beban pikiran baru “Tidak ada orang yang mengerti aku saat ada masalah..”. Namun di satu sisi, yakinlah bahwa temanmu tersebut termasuk orang yang peduli denganmu, hanya saja tidak mengerti bagaimana harus mengatakannya.

Selain itu, cara berpikir minimalis juga mengajarkan kita untuk tidak terlalu berekspektasi tinggi terhadap orang lain. Aku seringkali mengingat tujuanku bercerita kepada teman adalah untuk meringankan pikiran, bukan menodongnya memberikan solusi. Hanya dengan didengarkan aku sudah cukup puas dan lega, terkadang ketika kita menceritakan apa yang sebenarnya yang jadi masalah kita, kita jadi menyadari bahwa sebenarnya kita bisa merunutkan bahkan tahu sendiri langkah ke depannya harus bagaimana.

Photo by Hian Oliveira on Unsplash

Sebagai pendengar yang baik, sebaiknya kita juga tidak perlu membandingkan cerita teman yang sedang menghadapi masalah dengan cerita kita ataupun cerita yang pernah kita dengar. Apalagi jika perbandingan tersebut tidak mengarah pada referensi pemberian solusi. Kurangi juga ego untuk memotong cerita atau justru lebih banyak menceritakan diri sendiri saat teman sedang menceritakan masalahnya.

Kalimat toxic positivity tidak sepenuhnya buruk, kamu masih bisa menggunakan tone positifnya hanya saja diadjust sedikit dengan kata-kata yang lebih praktikal dan menawarkan bantuan. Mengutip dari The Psychology Group, berikut adalah contoh kalimat toxic positivity dan sebaliknya.


Lebih banyak konten gaya hidup minimalis:

Instagram: @lyfewithless

Podcast: Lyfe With Less (available on Spotify, Google Podcast, Anchor)

0 Shares
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like

Health & WellbeingPentingnya Belajar Move On Lewat Self-Forgiveness

Kita semua pasti pernah berbuat salah, entah kepada orang lain maupun diri sendiri. Seringkali, setelah melakukan kesalahan, kita mencoba untuk menyelesaikannya dengan berfokus pada faktor eksternal saja (minta maaf dengan orang yang bersangkutan). Padahal, melepaskan rasa bersalah dan malu merupakan bagian yang penting dalam perjalanan untuk move on dari kesalahan masa lalu.

Health & WellbeingFilosofi Stoik: Hidup Anti Stres dan Lebih Santai

Meski sudah ada sejak jaman dahulu, ajaran stoik kian berkembang dan beragam karena masih banyak diminati oleh banyak orang. Wajar saja jika banyak yang tertarik mempelajari stoicism, apalagi bagi para penganut minimalisme, karena ada beberapa nilai stoicism yang cukup berkaitan dengan nilai minimalis. Mari coba kenali lebih jauh mengenai stoicism!